Nasionalisme yang Kian Pudar


Nasionalisme atau cinta tanah air kian hari kian pudar. Memudarnya semangat nasionalisme bisa dilihat disemua kalangan, baik pelajar maupun orang tua.

Dikalangan pelajar dan remaja, banyak yang tidak hafal dengan teks Pancasila, lagu-lagu nasional hingga tokoh-tokoh pahlawan beserta kisah perjuangan hidupnya. Anak zaman now dominan asyik dan hafal dengan game online-nya sehingga miskin nasionalisme. Banyak diantara mereka yang lebih akrab dengan budaya Barat dan dekat dengan budaya-budaya  ading.

Ditambah lagi, kian maraknya ideologi radikal atas nama agama yang dibawa dan diperkenalkan oleh mereka yang berpenampilan layaknya ustadz atau pendakwah. Diperparah lagi dengan serbuan situs-situs dakwah online yang dapat mudah dinikmati disosial media.

Dikalangan orang tua juga tidak kurang parahnya tentang mundurnya sikap nasionalisme. Orang tua zaman now lebih banyak mengangungkan budaya pop dan hedonisme walau tidak semua. Sehingga budaya-budaya lokal tidak lagi mereka pakai dan tidak lagi diperkenalkan kepada anak-anaknya. Akibatnya, orang tua lupa dengan budaya moyang adat ketimurannya dan anak-anaknya buta dengan budaya leluhurnya.

Dua arus budaya yang sama bahayanya bagi budaya lokal sehingga memupuskan rasa nasionalisme adalah serbuaan budaya Barat dan budaya Arab.

Dikalangan pecandu materialisme, Barat adalah segalanya sehingga pemujanya selalu copy paste semua budaya Barat tak terkecuali. Mulai dari fashion, potongan rambut, gaya hidup dan semua glamour produk Barat. Bagi mereka, Barat adalah ukuran modernitas sehingga tanpa Barat tidak akan bisa disebut sebagai manusia modern.

Baca selanjutnya: Gaya Politik Jokowi: Menang Tanpa Merendahkan

Begitupun para pemuja Arab, menganggap bahwa menjadi muslim yang baik dan taat harus mengadopsi semua budaya Arab. Dianggap muslimnya mendalam dan ahli keislaman harus berjenggot, harus bercadar, niqab atau burqa bagi wanita, harus cingkrang, harus jidat hitam, harus bersorban dan gamis dimanapun, harus pakai ana, antum, akhi dan ukhti dan harus berbau Arab semua sisi.

Bagi muslim nusantara, menjadi muslim yang baik tidak harus mengadopsi semua budaya Arab karena menjadi muslim tidak harus totalitas Arab dan totalitas Arab belum tentu muslim. Menjadi muslim yang baik cukup dengan internalisasi ajaran-ajaran dan pesan inti sari dari ajaran Islam. Bukan bererti anti Arab tapi selektif dalam memilih budaya Arab untuk diinternalisasi dalam kehidupan. Mengambil budaya Arab yang baik yang selaras dengan ajaran Islam dan tetap mempertahankan budaya nusantara yang tidak berbenturan dengan syariah Islam.

Jadi budaya nusantara adalah filterisasi budaya asing. Semua budaya asing harus selaras dengan syariat dan budaya nusantara. Jika melanggar syariat maka wajib ditinggalkan kalau tidak dapat diislamisasi dan jika melanggar dengan budaya nusantara wajib ditinggalkan jika bertentangan dengan syariat.

Dengan nasionalisme yang kian pudar ini, marilah kita tanamkan kembali kepada anak-anak kita dan cucu-cucu kita betapa pentingnya nasionalisme. Nasionalisme mampu memproteksi budaya asing yang kian liar dan merusak tatanan hidup masyarakat nusantara. Nasionalisme mampu menyatukan semuanya.

Dengan nasionalisme, kita mampu membangun bangsa secara bersama-sama dengan asas kesetaraan dan kegotongroyongan. Tidak ada yang lebih super dan high power dari manusia lainnya dan tidak pula ada yang lebih rendah sebagai minoritas, semuanya Sana yakni rakyat Indonesia.

Marilah kita bangkitkan kembali semangat nasionalisme yang telah dicontohkan oleh ulama dan pejuang pendahulu. Dengan nasionalismelah, bangsa ini dapat dipersatukan walau banyak sekat dan rintangan yang dihadapi. Jangan sampai nasionalisme memudar karena jika memudar dan rusak maka habislah riwayat Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terjemah Kitab Alala dalam Bahasa Jawa dan Indonesia

Shalawat Badawiyah Kubro (An-Nurooniyah) dan Fadhilahnya

Shalawat Tasmiyah