Meneliti Akidah NU, Muhammadiyah dan PKS


Apakah Aqidah Muhammadiyah, NU & PKS itu dapat dikategorikan sebagai kelompok Ahlus Sunnah Wal Jama’ah? Apakah aqidah mereka selamat ataukah tidak? Apa letak perbedaannya?

Aqidah adalah pokok ajaran Islam. Layaknya sebuah bangunan yang membutuhkan pondasi, maka aqidah bagaikan pondasi agama ini. Aqidah inilah yang senantiasa ditanamkan oleh Rasulullah kepada para sahabatnya sebelum ajaran-ajaran yang lainnya. Salah seorang sahabat mengatakan:

“Ketika kami masih belia (usia menjelang baligh), kami belajar keimanan sebelum belajar al Qur’an, ketika kami belajar al Qur’an semakin menambah keimanan kami”. (HR. Ibn Hibban)

Aqidah adalah masalah prinsip yang harus kita pahami dengan benar. Kesalahan dalam memahami aqidah berdampak fatal. Sesat dalam aqidah bisa sesat yang lainnya. Ibarat pohon, akar yang baik membuahkan hasil yang baik. Namun akar yang rusak hanya akan membuat pohon tumbang, tak berbuah. Bicara aqidah, tentu bicara banyak hal. Adapun yang akan kita bahas di sini adalah khusus aqidah terkait sifat-sifat Allah dan ayat-ayat mutasyabihat. Mari kita cek satu-satu.

Aqidah Muhammadiyah

Aqidah Muhammadiyah adalah Aqidah Salaf. Prinsip penting dalam aqidah ini : Mengimani ayat-ayat mutasyabihat, dan menyerahkan maknanya kepada Allah tanpa menyerupakan dengan sifat-sifat makhluk-Nya dan meninggalkan makna tersurat (dhohir).

Dalam Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah terkait Iman kepada Allah & Iman kepada Kitab, dijelaskan sebagai berikut :

“Allah tidak menyuruh kita membicarakan hal-hal yang tidak tercapai oleh akal dalam hal kepercayaan. Sebab akal manusia tidak mungkin mencapai pengertian tentang dzat Allah dan hubungannya dengan sifat-sifat yang ada pada-Nya. Maka janganlah engkau membicarakan hal itu. (HPT Muhammadiyah 14)” Hal ini berarti Muhammadiyah menisbikan akal (mengakui kelemahan akal) dalam mencapai hakekat & sifat-sifat Allah.
“Memang Al Qur’an telah menutup pintu pemikiran dalam membicarakan hal yang tak mungkin tercapai oleh akal dengan firman-Nya yang berbunyi “Tiada sesuatu yang serupa dengan-Nya” (QS Syura’ 11). Diapun telah menjelaskan bahwa kekuatan akal itu terbatas dan bahwa Dia meliputi semua manusia, dalam firmanNya; “Dia tahu segala yang ada di muka dan di belakang mereka sedang pengetahuan mereka tak mungkin mendalami-Nya.” (QS Thaha 110). Bagi orang mukmin cukuplah bila mereka memikirkan segala makhluq-Nya, guna membuktikan ada-Nya, kekuasaan & kebijaksanaanNya. (HPT Muhammadiyah 15)” Hal ini berarti Muhammadiyah mengimani bahwa Allah berbeda dengan makhluq. Aqidah Muhammadiyah adalah tanzih (mensucikan Allah dari penyerupaan terhadap makhluk-Nya). Muhammadiyah menghimbau tidak membicarakan & memikirkan zat Allah serta mendorong mukmin untuk memikirkan makhluq untuk membuktikan keberadaan Allah.
“Kita wajib percaya akan hal yang dibawa oleh Nabi s.a.w. yakni Al-Qur’an dan berita dari Nabi s.a.w yang mutawattir dan memenuhi syarat-syaratnya. Dan yang wajib kita percayai hanyalah yang tegas-tegas saja, dengan tidak boleh menambah – nambah keterangan yang sudah tegas – tegas itu dengan keterangan berdasarkan pertimbangan (perkiraan), karena firman Allah: “Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.” (Surat Yunus:36) (HPT Muhammadiyah 17). Hal ini berarti Muhammadiyah tidak berani menduga-duga tentang zat zat Allah termasuk sifat-sifat yang ada padaNya. Dengan kata lain menolak pemahaman jisim yang menetapkan & menjelaskan sifat-sifat Allah. Karena secara prinsip akal manusia tidak mampu mengkajinya kecuali manusia yang suka menduga-duga. Inilah yang dimaksud kenisbian akal.
“Adapun syarat yang benar tentang kepercayaan, dalam hal ini ialah jangan ada sesuatu yang mengurangi keagungan dan keluhuran Tuhan, dengan mempersamakan-Nya dengan makhluk. Sehingga andaikata terdapat kalimat-kalimat yang kesan pertama mengarah kepada arti yang demikian, meskipun berdasarkan berita yang mutawattir (menyakinkan), maka wajiblah orang mengabaikan makna yang tersurat dan menyerahkan tafsir arti yang sebenarnya kepada Allah dengan kepercayaan bahwa yang terkesan pertama pada pikiran bukanlah yang dimaksudkan, atau dengan takwil yang berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima.” (HPT Muhammadiyah 17-18) Hal ini berarti Muhammadiyah memegang teguh kepercayaan bahwa Allah berbeda dengan makhluq. Muhammadiyah juga mencela adanya pemikiran atau sesuatu yang dapat mengurangi keagungan Allah. Sebab Allah Maha Sempurna. Allah tidak membutuhkan makhluq. Muhammadiyah juga menegaskan untuk meninggalkan makna dhohir ataupun makna tersurat dalam ayat mutasyabihat di Al Qur’an maupun hadits sekalipun mutawatir. Muhammadiyah justru menerima takwil yang sesuai dengan keagungan dan kesempurnaan Zat Allah.
Aqidah Muhammadiyah ini sangat sesuai dengan pemahaman Ulama’ Salaf :

Ulama Salaf ahli Hadits al-Faqih Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (102 – 189 H) berkata : “Para ulama fiqih semuanya sepakat, dari barat ke timur, untuk mengimani al-Quran dan Hadits yang dibawa oleh para perowi terpercaya tentang sifat Allah Ta’ala tanpa tafsir, penyifatan dan tasybih. Barangsiapa yang mentafsirkannya sekarang sesuatu dari hal itu, maka dia telah keluar dari ajaran Nabi dan memisahkan diri dari barisan Ahlus sunnah wal Jama’ah. Karena sesungguhnya mereka (Ahlus sunnah) tidak mensifatinya dan juga tidak menafsirkannya, akan tetapi mereka berfatwa dengan apa yang ada dalam al-Quran dan sunnah kemudian mereka diam “. (I’tiqad Ahlis sunnah, al-Lalikai : 3/432)

Imam Ahmad bin Hanbal (164 – 241 H) berkata :“Aku (Hanbal) bertanya kepada Abu Abdillah (imam Ahmad) tentang hadits-hadits yang diriwayatkan bahwa Allah Ta’ala turun ke langit dunia, dan Allah Ta’ala meletakkan telapak kaki-Nya dan semisalnya ?”, maka imam Ahmad menjawab : “ Kami mengimaninya dan kami membenarkannya, tanpa kaif dan tanpa makna “. (Dzam at-Takwil : 21)

“Imam Ahmad mengingkari orang yang berpendapat Allah itu berjisim dan berkata : “ Sesungguhnya nama-nama itu diambil dari Syare’at dan bahasa. Ulama ahli bahasa meletakkan nama (jisim) ini kepada sesuatu yang memiliki ukuran panjang, lebar, tinggi, bagian, gambar dan susunan sedangkan Allah keluar dari itu semua, maka tidak boleh mengatakan Allah itu jisim karena mustahilnya Allah dari makna kejisiman dan juga tidak ada sandaran dalam Syare’at “. (I’tiqad al-Imam Ahmad : 45)

Seluruh ulama salaf sudah ijma’ (sepakat) tidak berani menafsirkan maknanya bahkan sama sekali tidak mau membicarakan teks-teks mutasyabihat dan shifat. Sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ibnu Khuzaimah (223 – 311 H) : “Para imam kaum muslimin dan perintis madzhab serta para pemimpin agama seperti Malik, Sufyan, al-Awza’i, asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq, Yahya, Ibnul Mubarak, Abu Hanifah, Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf, tidak membicarakan hal itu (ayat shifat) dan mencegah para pengikutnya mendalaminya serta menunjukkan mereka atas al-Quran dan Sunnah “. (Aqaawil ats-Tsiqaat : 62)

Ulama Salaf lain Imam Abu Jakfar ath-Thahawi (239 – 321 H) berkata :”Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut”. (Al-Aqidah ath-Thahawiyyah : 28)

Pun demikian dengan ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang datang belakangan.

Imam ahli tafsir al-Qurthubi (578 – 656 H) mengatakan : “Sungguh telah diketahui sesungguhnya madzhab ulama salaf adalah meninggalkan memperdalam (pembicaraan makna) disertai keyakinan mereka dengan kemustahilan dzahir-dzahirnya, maka mereka mengatakan : “ Laluilah sebagaimana datangnya “. (Al-Jami’ li Ahkaam al-Quran : 4/12)

Al-Imam Badruddin bin Jama’ah (694 – 767 H) menegaskan tentang prinsip ulama salaf dalam menyikapi nash shifat sebagai berikut : “Barangsiapa yang menganut (mengaku) mengikuti ucapan ulama salaf, dan berucap dengan ucapan tasybih (penyerupaan) atau takyiif (visualisasi), atau membawa lafaz atas dzahirnya dari apa yang Allah Maha Suci darinya berupa sifat-sifat baharu, maka dia telah berdusta mengaku mengikuti madzhab salaf, lepas dari ucapan dan keseimbangan salaf “. (Iydhah ad- Dalil fi Qat’i Hujaji Ahli ath-Ta’thil : 93)

Para Ulama & Mufassir melakukan takwil yang sesuai dengan makna keagungan Allah.

Al-Imam al-Mufassir al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan :

“ Dan langit kami bangun dengan “ aydin “ dan kami benar-benar meluaskannya “. (Ibnu Katisr menafsirkan) : “ Dan langit kami bangun”, maksudnya adalah kami jadikan atap yang terjaga dan tinggi , “ Dengan ayidn “, maksudnya adalah dengan kekuasaan “, telah menafsirkan hal itu (dengan kekuasaan) Abbas, Mujahid, Qatadah, ast-Tsauri dan selain satu (banyak) “. (Tafsir Ibnu Katsir : 4/303)

Imam al Bukhari mentakwil QS Al Qassas 88. Beliau mengatakan bahwa makna “al Wajh” dalam ayat tersebut adalah “al Mulk”; artinya kerajaan atau kekuasaan (lihat Shahih al Bukhari, tafsir Surat al Qasas). Takwil ayat ini juga telah disebutkan oleh Imam Sufyan ats Tsauri dalam kitab Tafsir-nya (Lihat Tafsir al Qur’an al Karim, h. 194).  Kedua; Imam al Bukhari mentakwil firman Allah:

هُوَ ءَاخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا (هود: 56)

Ayat ini ditakwil oleh beliau dalam makna “al mulk wa as sulthan” artinya “kerajaan dan kekuasaan” (Lihat Shahih al Bukhari, Tafsir Surat Hud)

Ayat diatas jika tidak ditakwil dan memakai makna dhohir bisa diterjemahkan ubun-ubun semua makhluq bergerak dalam genggaman Allah.

Aqidah Nahdlatul Ulama’ (NU)

Aqidah NU dalam sifat-sifat Allah mengikuti Aqidah Asy’ariyah yang dinisbatkan kepada Imam Abu Hasan al-Asy`ari. Prinsip penting dalam aqidah asy’ariyah : Allah ada tanpa tempat & tanpa arah serta tidak boleh disifati dengan sifat-sifat makhluk-Nya.

Mungkin ada yang bertanya, “Kenapa mazhab ahlusunah baru berdiri tiga ratus tahun setelah Rasulullah wafat?”

Imam Abu Hasan al-Asy`ari tidaklah membuat sebuah aliran baru dalam Islam, ia tidak mendirikan sebuah mazhab akidah baru dan mengaku sebagai ahlussunnah. Ia tidak lain adalah seorang perumus akidah Islam yang telah ada pada saat itu (aqidah salaf). Ia merumuskan dan menyimpulkan akidah yang dianut oleh para kaum generasi awal Islam melalui riwayat-riwayat dan pengajaran yang telah tersebar saat itu untuk memisahkan antara akidah yang murni dan akidah yang telah tercampur tangan-tangan kelompok Muktazilah, Syiah, dan kelompok lainnya.

Ilmu tajwid telah ada sejak saat Rasulullah membacakan al-Quran kepada para sahabat, namun baru dirumuskan setelah sekian puluh tahun kemudian. Begitu juga ilmu nahwu, ilmu hadis riwayat maupun dirayat, dan beberapa disiplin ilmu lainnya. Maka hal yang serupa juga terjadi dalam ilmu akidah, meski imam Abu Hasan al-Asy`ari bukanlah orang yang pertama merumuskan akidah Islam. Sebelumnya telah ada orang-orang seperti Imam Abu Hanifah dengan al-Fiqh al-Akbar-nya dan imam Abu Ja`far al-Thahawi dengan al-Aqidah al-Thahawiyah.
Untuk memahami Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah maka hendaknya kita merujuk pada ayat muhkamat (ayat yang jelas maknanya). Banyak sekali ayat-ayat muhkamat yang bisa kita jadikan rujukan di antaranya adalah firman Allah ta’ala:
“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya” (QS. Syura: 11)

Ayat ini adalah ayat yang paling jelas dalam al Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya. Tidak ada makna lain dari ayat tersebut, semua ulama sepakat bahwa artinya adalah tanzih (mensucikan Allah dari penyerupaan terhadap makhluk-Nya).

Karenanya, apapun yang ada pada makhluk-Nya maka Allah tidak dapat disifati dengannya. Makhluk-Nya bertempat maka Allah tidak bertempat, makhluk-Nya berarah maka Allah tidak berarah, begitu juga dengan sifat-sifat makhluk yang lainnya tidak boleh Allah disifati dengannya. Karenanya Aqidah Ahlussunnah mengatakan Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah serta tidak boleh disifati dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Inilah di antara dasar Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang terkenal dengan sebutan Asy’ariyah dan Maturidiyah.

Rasulullah bersabda:

“Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya” (HR. al Bukhari, al Bayhaqy dan Ibn al Jarud)

Dapat kita pahami dari hadits di atas bahwa Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan), tidak ada sesuatu (selain-Nya) bersama-Nya. Pada azal belum ada angin, cahaya, kegelapan, ‘Arsy (makhluk Allah yang paling besar), langit, manusia, jin, malaikat, waktu, tempat dan arah. Berarti Allah ada sebelum terciptanya tempat dan arah, maka Ia tidak membutuhkan kepada keduanya dan Ia tidak berubah dari semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan arah, karena berubah adalah tanda yang menunjukkan bahwa sesuatu itu baru.

Aqidah PKS / Gerakan Tarbiyah / Ikhwanul Muslimin

Barangkali membuat generalisasi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan Gerakan Tarbiyah atau dengan Ikhwanul Muslimin (IM) ada yang kurang sepakat. Namun, gerakan ini sangat terinspirasi oleh gerakan IM di Mesir. Untuk mengetahui secara pasti aqidah mereka semua tentu tidak mudah. Karena barangkali berbeda-beda. Setidaknya kita bisa mengambil sikap dari aqidah para pemimpinnya.

Dalam kitab Risalah al Aqaid Imam Hasan Al Banna mengatakan :

“Kami berkeyakinan bahwa pendapat salaf yaitu mendiamkan (tidak mengambil makna dzhahir/tekstual) dan menyerahkan pengetahuan makna-makna ayat (mutasyabihat) ini kepada Allah ta’ala adalah lebih selamat dan utama untuk diikuti.”

Aqidah beliau adalah Aqidah Salaf sebagaimana Aqidah Muhammadiyah. Aqidah salaf yang secara prinsip sama dengan aqidah Asy’ariyah & Maturidiyah.

Tokoh besar Ikhwanul Muslimin periode pertama yakni Sa’id Hawa  dalam kitab Jaulat fil Fiqhain : Al Kabir wal Akbar menegaskan :

“Sesungguhnya kaum muslimin sejak zaman dahulu memiliki imam mereka dalam aqidah, imam dalam fiqih dan imam dalam tasawuf. Adapun imam dalam aqidah seperti Imam Abu Hasan Asy’ari dan Imam Abu Mansur al Maturidi.”

Dalam Majalah “ al-Mujtama “, Syaikh al-Qardhawi mengeluarkan pandangannya terhadap dakwah Ikhwanul Muslimin dengan dua poin penting, salah satu pointnya adalah tentang keterkaitan Ikhwanul Muslimin dengan Asy’ariyyah. Syaikh al-Qardhawi mengatakan :

“Persangkaan Ikhwanul Muslimin yang mengaku sebagai Asy’ariyyah, tidaklah mengurangi kehormatan mereka, kerana umat Islam pada umumnya (mayoritas) adalah berakidah Asy’ariyyah dan Maturudiyyah. Malikiyyah dan Syafi’iyyah adalah Asy’ariyyah, Hanafiyyah adalah Maturudiyyah. Semua fakultas Agama di seluruh Negeri adalah Asy’ariyyah dan Maturudiyyah, al-Azhar di Mesir, Zaitunah di Tunis, Qarwiyyin di Maroko, Daiduban di Hindi dan selainnya dari sekolah-sekolah dan Fakultas Agama. Seandainya kami katakan “ Asy’ariyyah bukanlah Ahlus sunnah, maka sama saja kami menghukumi sesat terhadap seluruh umat ini atau secara umumnya, maka kami akan jatuh pada perpecahan yang kami anggap sebagai penyimpangan.“

Ini juga merupakan pengakuan Syaikh al-Qardhawi bahwa mayoritas umat Muslim di seluruh belahan dunia ini adalah berakidahkan Asy’ariyyah dan Maturidiyyah. Alhamdulillah ini sebuah pengakuan yang jujur. Kemudian al-Qardhawi melanjutkan :

“Siapakah yang membawa panji pembelaan Ahlus sunnah dan tekun memerangi musuh Islam sepanjang masa yang lalu kalau bukan ulama dari Asy’ariyyah dan Maturudiyyah ???

Semua ulama besar dan para imam kita adalah dari kalangan mereka; al-Baqilani, al-Isfaraini, imamul Haramain al-Juwaini, Abu Hamid al-Ghazali, al-Fakhr ar-Razi, al-Baidhawi, al-Aimidi, asy-Syahrastani, al-Baghdadi, Ibnu Abdissalam, Ibnu Daqiqil Id, Ibnu Sayyydinnas, al-Balqini, al-Iraqi, an-Nawawi, ar-Rafi’i, Ibnu Hajar al-Atsqalani dan as-Suyuthi. Dari Maroko ada imam ath-Thurthusyi, al-Maziri, al-Baji, Ibnu Rusyd dan Ibnul ‘Arabi al-Maliki, al-Qadhi Iyadh, al-Qurthubi, asy-Syathibi dan lainnya. Dari kalangan Hanafiiyyah ada imam al-Khurkhi, al-Jashshas, ad-Dabusi, as-Sarkhasi, as-Samarqandi, al-Kasani, Ibnul Himam, Ibnu Nujaim, at-Tiftizani, al-Bazdawi dan lainnya.

Saudara kita yang mencaci asy’ariyyah secara serampangan, maka mereka adalah salah dan ekstrem. Asy’ariyyah adalah sebuah kelompok dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang telah diridhai umat, karena mereka menjunjung al-Quran dan Sunnah sebagai landasan, maka tidaklah membahayakan mereka sedikit kesalahan dalam beberapa masalah, atau mereka memilih pendapat yang lemah atau salah, maka mereka adalah manusia yang berijtihad lagi tidak ma’shum. Tidak akan ditemukan suatu umat yang selamat dari kesalahan ketika berijtihad. Sama ada dalam masalah furu’ atau masalah usul. Semua pendapat bisa diterima dan bisa ditolak kecuali ucapan Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam “.

Baca juga: Ciri-Ciri Wahabi dan Akidahnya

Penutup

Baik Muhammadiyah, NU & Ikhwanul Muslimin yang berpegang pada imam & ajaran asli mereka tentulah beraqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Inilah aqidah mayoritas kaum muslimin. Inilah aqidah yang benar. Sebagaimana yang kita tahu, Kyai Ahmad Dahlan dan Kyai Hasyim Asy’ari itu saudara senasab dan saudara seperguruan. Keduanya memiliki sanad nasab sampai Baginda Rasulullah. Keduanya juga memiliki sanad ilmu yang bersambung sampai Rasulullah karena memiliki guru yang sama baik di Jawa maupun di Mekkah. Meskipun dalam masalah furu’ mungkin berbeda tapi aqidahnya sama.

Ahlussunnah Wal Jama’ah sama-sama beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat. Ahlussunnah Wal Jama’ah sama-sama tanzih (mensucikan Allah dari penyerupaan terhadap makhluk-Nya). Ahlussunnah Wal Jama’ah sama-sama menolak makna dhohir & menerima takwil yang sesuai.

Rasulullah bersabda “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (jama’ah muslimin atau pemahaman jumhur ulama).” (HR. Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim.)

Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih) Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa jama’ah muslimin adalah as-sawadul a’zham“

As-sawadul a’zham (mayoritas kaum muslim) atau jama’ah adalah kaum muslim yang pada umumnya mengikuti para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat. Alhamdulillah, kita masih memiliki jama’ah kaum muslimin yang benar dengan imam-imamnya. Di Indonesia, kita bisa mentaati Majelis Ulama Indonesia (MUI). Maka, mari kita bersatu bersama mengikuti mereka yang seaqidah! Ini adalah bentuk ketaatan kita pada Rasul.

Terakhir, ibarat pohon yang akarnya baik, hasil buahnya juga baik. Mukmin yang aqidahnya benar niscaya akhlaqnya juga baik, kontribusi & manfaat nyata juga bisa dirasakan banyak orang. Pilihan itu di tangan masing-masing orang. Dan setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban atas pilihannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shalawat Badawiyah Kubro (An-Nurooniyah) dan Fadhilahnya

Terjemah Kitab Alala dalam Bahasa Jawa dan Indonesia

Shalawat Tasmiyah