Perang Sunni-Syiah dan Propaganda Wahabi


Oleh Suryono Zakka

Sunni dan Syiah memang dua madzhab yang berbeda, baik secara konsep keimanan maupun konsep fikihnya. Namun kedua madzhab ini memiliki titik tengah perdamaian yakni non takfiri atau tidak mengkafirkan umat Islam diluar golongan mereka.

Sejarah yang pahit pernah terjadi saat peperangan antara Sunni dan Syiah ketika akhir kekhalifahan sayyina Ali ibn Abi Thalib. Perang saudara dalam tubuh umat Islam ini hingga saat ini terasa memilukan karena kedua kelompok sama-sama menuai kerugian hingga sensivitas antara Sunni dan Syiah kini masih bersitegang. Artinya, isu Sunni dan Syiah masih sangat potensial untuk menyulutkan peperangan.

Sejarah telah berlalu dan hendaknya menjadi sebuah pelajaran agar peperangan dua sayap umat Islam ini takkan terulang kembali. Kedua madzhab sepakat untuk berdamai dan melepaskan egoisitas keagamaan yakni saling menerima perbedaan walau perbedaan itu sangat tajam.

Perdamaian dan perundingan diantara tokoh kedua madzhab yakni kerap dilakukan dalam rangka menyelesaikan konflik yang selama ini terjadi. Membuang jauh-jauh rasa dendam permusuhan, prasangka buruk dan kebencian sektarian. Menghadirkan moderatisme dan toleransi sehingga kedua madzhab bisa bergandengan tangan untuk menciptakan peradaban.

Sunni dan Syiah adalah dua sayap Islam yang tak patut untuk dipatahkan salah satu sayapnya. Jika patah salah satunya maka akan jatuh dan tumbang. Islam akan segera bangkit dengan adanya perdamaian Sunni dan Syiah.

Walau berbeda, Sunni dan Syiah tidak layak untuk bermusuhan apalagi saling menumpahkan darah. Jika Sunni adalah simbol kecintaan kepada sahabat maka Syiah adalah simbol kecintaan kepada dzuriyat.

Kedua cinta ini tak dapat dipisahkan karena sahabat dan dzuriyat memiliki andil besar dalam perkembangan Islam. Demi terciptanya perdamaian, kedua madzhab ini harus sepakat untuk menghilangkan sikap ekstrimisme. Betapapun, ekstrimisme telah merusak kehidupan beragama dan berbangsa.

Demi terciptanya persaudaraan, Sunni dan Syiah hendaknya mampu menjauhkan kelompoknya dari sikap-sikap subjektivisme. Walau sunni mencintai sahabat tentu Sunni pula sangat mencintai dzuriyat. Dan sebaliknya, walau Syiah memuliakan dzuriyat maka Syiahpun berkewajiban untuk memuliakan sahabat. Dua kecintaan yang sangat harmoni.

Untuk mengubur sejarah pahit dimasa lalu antara Sunni dan Syiah, ulama moderat baik dikalangan Sunni dan Syiah berusaha mengadakan berbagai konferensi perdamaian diantaranya konferensi di Jordania dengan menghasilkan Risalah Amman (Amman Mesage) adalah sebuah deklarasi yang diterbitkan pada 9 November 2004 (27 Ramadan 1425 H) oleh Raja Abdullah II bin Al-Hussein dari Yordania yang menyerukan toleransi dan persatuan dalam umat Islam.

Sunni dan Syiah hendaknya senantiasa waspada terhadap kelompok-kelompok takfiri yang senantiasa menghembuskan permusuhan dan provokasi. Kelompok takfiri itu tiada lain yakni Wahabi yang sepanjang sejarah tidak akan pernah rela Sunni dan Syiah berdamai. Dengan berdamainya Sunni dan Syiah adalah pertanda tamat riwayatnya Wahabi.

Dimana ada konflik Sunni dan Syiah, disitulah ada Wahabi sebagai provokator sejati. Yang terus menerus mengulang narasi agar Sunni dendam terhadap Syiah. Propaganda Wahabi untuk merusak perdamaian Sunni dan Syiah kian nampak dengan dikeluarkannya Wahabi dari barisan Ahlussunnah Wal Jamaah dalam muktamar Aswaja di Grozny, Chechnya. Muktamar ini dihadiri lebih dari 200 ulama Ahlusunnah Wal Jamaah (Aswaja) internasional di Chechnya 25 Agustus 2016 lalu yang kemudian memunculkan kegalauan Wahabi-Arab Saudi. Pasalnya dalam muktamar itu memutuskan Wahabi dikeluarkan dari barisan Ahlusunnah Wal Jamaah.

Dengan mengetahui kelompok-kelompok yang merusak perdamaian umat Islam dengan menghembuskan peperangan Sunni dan Syiah maka kita tidak akan lagi tertipu dengan propaganda Wahabi yang terus menerus mengobarkan peperangan diantara keduanya.

Jika memang ada konflik masa lalu antara Sunni dan Syiah, bukan saatnya lagi untuk diulas kembali yang akhirnya menjadi dendam yang dilanjutkan oleh anak keturunan mereka. Peperangan dimasa lalu bukan lagi untuk dikobarkan karena hanya akan merusak masa depan Islam karena Islam tidak akan pernah jaya jika hanya gemar berperang sesama umat Islam.

Bagi Sunni, jangan pernah lagi terprovokasi kelompok yang mengobarkan peperangan kepada Syiah. Jangan lagi terbawa propaganda anti Syiah sebab propaganda anti Syiah adalah sekenario awal untuk menghancurkan Sunni. Mengapa demikian? Karena lahirnya sekte Wahabi yang mengaku sebagai sekte kebenaran tunggal adalah dalam rangka melumat Syiah dan membasmi Sunni.

Kita bisa saksikan propaganda mereka?  Menebar teror dan kebencian kepada Sunni dan Syiah. Mencerca Sunni dengan tuduhan ahlul bid'ah dan musyrik sedangkan kepada Syiah dengan melaknat berupa semboyan Syiah bukan Islam.

Mereka membasmi Syiah dengan membabi buta yang akhirnya siapapun yang tidak membenci Syiah dan tidak melaknat Syiah akan dicap sebagai Syiah. Kita lihat betapa banyak ulama Sunni yang tidak membenci Syiah akan diberondong cacian, makian dan tuduhan sebagai Syiah.

Dengan demikian, dimana ada konflik Sunni dan Syiah maka disitu ada peran penting Wahabi sebagai kunci utama. Dengan berperangnya Sunni dan Syiah maka Wahabi tepuk tangan karena propagandanya berhasil yakni propaganda untuk meluaskan ideologi Wahabi keseluruh dunia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terjemah Kitab Alala dalam Bahasa Jawa dan Indonesia

Shalawat Badawiyah Kubro (An-Nurooniyah) dan Fadhilahnya

Shalawat Tasmiyah