Fatwa Sesat Wahabi: Onani Tidak Membatalkan Puasa


Masalah:

Apakah keluarnya mani baik disebabkan karena mencium isteri, atau memeluknya, atau onani dapat membatalkan puasa dan harus mengqadha’nya..??

Pendapat Syaikh al-Albani :
Tidak ada dalil yang menunjukkan, bahwa hal tersebut dapat membatalkan puasa.
Adapun menyamakannya dengan menggauli isteri adalah pendapat yang kurang jelas.
Oleh sebab itulah ash-Shan’ani mengatakan: ‘Yang nampak jelas adalah tidak mengqadha’nya dan tidak ada kafarah (denda) baginya, kecuali karena jimaa’.
Adapun menyamakan dengan hukum menggauli isteri adalah pendapat yang jauh dari kebenaran.
Asy-Syaukani cenderung kepada pendapat ini.
Ini merupakan pendapat Ibnu Hazm.
Lihat ‘al-Muhalla’ (VI/175-177)

Di antara bukti, bahwa menganalogikan istimna’ dengan jimaa’ adalah analogi yang bermuatan beda,
Sebagian orang berpendapat begini, dalam masalah batalnya puasa mereka berpendapat tidak sama dengan masalah kafarat.

Mereka mengatakan: Karena jima’ adalah lebih berat, dan hukum asal menetapkan tidak ada kafarat.
Lihat al-Muhadzdzab dan Syarahnya oleh an-Nawawi (VI/328)

Demikian pula kami mengatakan, bahwa hukum asal menetapkan tidak batal puasanya, dan jima lebih berat daripada istimna’, dan makna istimna’ tidak bisa dianalogikan dengan jima’.
Renungkanlah...!!
(Tamaamu al-Minnah hal. 418-419).

Berikut Argument Rujukan Syekh Nashiruddin Al-Albani dan Para Pembelanya yg memperbolehkan Onani/Masturbasi.

=> Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata:

وَلاَ يَنْقُضُ الصَّوْمَ حِجَامَةٌ، وَلاَ احْتِلاَمٌ, وَلاَ اسْتِمْنَاءٌ, وَلاَ مُبَاشَرَةُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ أَوْ أَمَتَهُ الْمُبَاحَةَ لَهُ فِيمَا دُونَ الْفَرْجِ, تَعَمَّدَ الإِمْنَاءَ أَمْ لَمْ يُمْنِ, أَمْذَى أَمْ لَمْ يُمْذِ

“Dan puasa tidaklah batal karena bekam, mimpi basah, onani, atau karena mencium istri atau budak yang halal baginya selama yang menjadi objek bukanlah kemaluan, baik secara sengaja dia mengeluarkan mani ataukah tidak, baik dia mengeluarkan mani ataukah tidak”
(Al-Muhalla 6/203)

=> Imam Ash-Shana’i rahimahullah berkata:

الْأَظْهَرُ أَنَّهُ لَا قَضَاءَ وَلَا كَفَّارَةَ إلَّا عَلَى مَنْ جَامَعَ وَإِلْحَاقُ غَيْرِ الْمُجَامِعِ بِهِ بَعِيدٌ

“Yang lebih jelas adalah bahwasanya mengeluarkan mani tidak perlu qadha ataupun kaffarah kecuali orang yang berjima’. Adapun menyambung-nyambungkan orang yang tidak jima’ dengan orang yang jima’ adalah sesuatu yang sangat jauh untuk disamakan”
(Subul As-Salam 3/323)

=> Imam Bukhari juga berpendapat demikian. Hal ini dapat kita istinbatkan dalam kitab shohih beliau. Maka dari itu disebutkan dalam Fiqh Al-Bukhari:

أفاد فيهما إباحة الاستمتاع على الصائم عن طريق المباشرة والتقبيل إذا كان متملكا نفسه بحيث لا يفضي استمتاعه إلى الجماع, فلا يؤثر هذا الاستمتاع على صومه وإن أمنى

“Kedua bab ini (Bab bermesran dengan istri untuk orang yang berpuasa “Bab Al-Mubasyarah Li Ash-Sha’im dan bab orang yang puasa mencium istrinya “Bab Al-Qublah Li Ash-Shaim”) memberikan sebuah faidah bahwasanya diperbolehkan untuk orang yang berpuasa bermesraan dan mencium istrinya jika dia dapat menguasai dirinya sehingga hal tersebut tidak membawa kepada mencari kenikmatan dengan cara jima’. Maka hal tersebut tidaklah berbekas atas puasanya (tidak membatalkan puasanya)”
(Fiqh Al-Imam Al-Bukhari hal. 69)

Imam bukhari membawakan sebuah riwayat dalam bab ini:

قَالَ جَابِرُ بْنُ زَيْدٍ: إِنْ نَظَرَ فَأَمْنَى يُتِمُّ صَوْمَهُ

“Jabir bin Zaid berkata: “Jika dia melihat istrinya kemudian dia mengeluarkan maninya maka hendaklah dia tetap melanjutkan puasanya (tidak batal)”
(HR. Bukhari)

=> Abu Bakr Al-Iskaf dan Abu Al-Qasim yang mana keduanya adalah ahli fikh hanafi juga berkata demikian.
Disebutkan dalam Al-‘Inayah Syarh Al-Hidayah:

إذَا عَالَجَ ذَكَرَهُ بِكَفِّهِ حَتَّى أَمْنَى لَمْ يُفْطِرْ ( عَلَى مَا قَالُوا ) أَيْ الْمَشَايِخُ ، وَهُوَ قَوْلُ أَبِي بَكْرٍ الْإِسْكَافِ ، وَأَبِي الْقَاسِمِ لِعَدَمِ الْجِمَاعِ صُورَةً وَمَعْنًى

“Jika dia menggerakkan dzakarnya hingga mengeluarkan maninya, maka hal tersebut tidaklah membatalkan puasanya, hal tersebut sesuai apa yang mereka katakan yakni: para masyaikh. Dan dia adalah perkataan Abu Bakr Al-Iskaf dan Abu Al-Qasim. Hal tersebut karena hal tersebut sama sekali bukanlah jima’ baik dari sisi hakikatnya maupun maknanya”

Baca lainnya:Sekte Hitam Wahabi

(Al-‘Inayah Syarh Al-Hidayah 3/285)

=> Dan ulama lainnya juga berpendapat demikian seperti Imam Ibnu Khuzaimah, Ibnu Muflih Al-Hanbali, Syaukani dll.

Syaikh Al-Albani tetap mengatakan bahwasanya onani adalah haram dan tidak boleh dilakukan. Beliau berkata:

وأما نحن فنرى أن الحق مع الذين حرموه

“Dan adapun kami, maka kami berpendapat bahwasanya kebenaran bersama para ulama yang mengharamkan onani”
(Tamam Al-Minnah hal. 420)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shalawat Badawiyah Kubro (An-Nurooniyah) dan Fadhilahnya

Terjemah Kitab Alala dalam Bahasa Jawa dan Indonesia

Sanad Keilmuan KH. Hasyim Asy'ari (Pendiri NU), Abu Hasan Al-Asy'ari hingga Rasulullah