Cara dan Lafadz Ijab Qabul yang Benar


Oleh Kiai Yusuf Suharto

Rukun Pernikahan itu ada lima, yaitu
shighat (pernyataan ijab-kabul); mempelai putri; mempelai putra; wali; dan dua saksi.

Rukun yang pertama adalah shighat (pernyataan ijab kabul). Shighat ini dianggap cukup, misalnya ketika wali menyatakan (sebagai pernyataan ijab):

زَوَّجتُكَ فُلانَةً او أنكحتكها

“Aku nikahkan engkau dengan si fulanah.”

Kemudian mempelai putra menjawab (pernyataan kabul):

تَزَوّجْتُهَا اَوْ أنكحتُهَا اوْ قبلْتُ نكاحَها اوْ تزويجها اوْ النكاح اوْ التزويج اوْ رضيْتُ نكاحها اوْ هذا النكاحَ

"Saya (bersedia) menikah dengannya; atau saya menerima nikahnya; atau saya rela menikah dengannya; saya rela dengan pernikahan ini."

Dalam kitab al-Umm Imam As-Syafi’i (w. 204 H) menyebutkan, “Selamanya pernikahan tidak akan sah kecuali wali mengucapkan:

قدْ زَوَّجْتُكَهَا اَوْ أَنْكَحْتُكَهَا
 
“Saya menikahkanmu dengannya."

Kemudian mempelai putra menjawab:

قَدْ قَبِلْتُ نِكَاحَهَا اَوْ قَبِلْتُ تَزْوِيْجَهَا

"Saya menerima nikahnya."

Atau pelamar (mempelai putra) mengucapkan:

زَوِّجْنِيْهَا اَوْ أَنْكِحْنِيْهَا

"Nikahkanlah saya dengannya."

Kemudian wali menjawab:

قَدْ زَوّجْتُكَهَا اَوْ أَنْكَحْتُكَهَا

"Saya nikahkan engkau dengannya."

Kemudian mempelai putra dan wali secara bersamaan menyebut nama mempelai putri beserta nasabnya (fulanah binti fulan).

Seandainya mempelai putra (mendahulukan qabul) mengucapkan, "Saya ingin menikahi putrimu atau saya menerima pernikahannya."
Kemudian wali berucap (berijab): “Saya menikahkanmu dengannya,” maka pernikahannya dianggap sah, karena penerimaan (kabul) itu hanyalah satu dari dua sisi akad pernikahan. Jadi, tidak ada perbedaan antara mendahulukan atau mengakhirkannya.

Di dalam syarah kitab Ihya Ulumiddin dijelaskan bahwa tidak disyaratkan adanya kesamaan penggunaan redaksi akad dari kedua belah pihak. Jadi jika salah seorang memakai redaksi “zawwajtuka” (saya kawinkan engkau), dan yang lain menjawab “qabiltu nikahaha”(saya terima nikahnya), maka pernikahan itu tetap sah. Ini sesuai dengan mazhab Imam Syafi’i."

Pernikahan juga sah dengan menggunakan redaksi yang semakna dengan tazwij dan nikah dari berbagai ragam bahasa, meskipun yang orang yang mengucapkannya sebenarnya fasih melafalkan bahasa Arab. Ini adalah menurut pendapat yang paling kuat (ashah), karena mengacu pada (kesamaan) makna. Namun dengan syarat, seluruh yang terlibat dalam akad pernikahan itu memahaminya satu sama  lain, begitu pula dua saksi.

Namun, ijab-kabul dengan tulisan atau isyarat tidak sah meskipun tulisan dan isyarat itu bisa difahami. Lain halnya ijab-kabul itu dilakukan oleh orang yang bisu, sebagaimana juga dalam jual beli atau perceraian, maka akad itu sah.

Kemudian, ijab-kabul itu dirsyaratkan harus bersambung atau tanpa jeda. Sebab, jeda dengan perkataan lain, menyebabkan ijab-kabul itu menjadi tidak sah. Pernyataan ijab yang diucapkan wali dan pernyataan kabul yang diucapkan mempelai putra disyaratkan bisa terdengar dengan baik oleh masing-masing pihak, termasuk dua saksi. Sebab, jika tidak, akad nikah menjadi tidak sah.

Kemudian, orang yang mengucapkan ijab (al-mujib atau wali), dan orang yang menerima (al-qabil atau mempelai putra)    disyaratkan tetap dalam keadaan pantas secara syara' (baqa’ul ahliyyah) hingga akad nikah itu selesai.

Jadi, jika ada seorang wali mengucapkan ijab kemudian mengalami gangguan jiwa atau epilepsi, atau misalnya hak menjadi walinya hilang karena sebab tertentu sebelum mempelai putra menerima, maka akad nikah menjadi batal. Begitu pula akad nikah menjadi batal, jika wali meninggal dunia sebelum mempelai putra menerima atau mengucapkan kabul. Begitu halnya jika mempelai putri yang mengizinkan dilaksanakannya pernikahan mencabut izinnya, atau sebab lain misalnya mengalami gangguan kejit, murtad, atau epilepsi sebelum mempelai putra menyatakan kabul, maka kabul dari mempelai putra itu tidak dapat diteruskan atau tidak sah.

Adapun cara mengucapkan shighat akad yang diwakilkan adalah sang wakil berkata kepada mempelai putra:

زوّجتُكَ فلانةً بنت فلانٍ مُوَكِّلِي

“saya nikahkan engkau dengan fulanah binti fulan dalam keadaan saya menjadi wakilnya).”

Ungkapan ijab dengan tambahan "muwakkili" ini dimunculkan ketika saksi dan mempelai putra belum mengetahui adanya perwakilan wali. Tentunya, jika keduanya sudah mengetahui, tambahan kata itu tidak diperlukan lagi dan mempelai putra bisa lay mengucapkan kabul.

Jika mempelai pria diwakilkan dan saksi tidak tahu tentang perwakilan tersebut, maka wali berkata pada wakil mempelai putra:

زوّجتُ بنتِي فلاناً مُوَكِّلَكَ

"Saya nikahkan anak perempuan saya dengan fulan yang diwakili olehmu"

Redaksi ijab seperti ini diucapkan jika para saksi belum mengetahui perihal perwakilan sebelumnya. Jika saksi sudah mengetahui, tentunya wali tidak perlu menambahkan redaksi "muwakkilaka" tersebut.

Kemudian, jika wali berkata kepada wakil mempelai putra:

زوّجتُكَ بِنْتِي

“Saya nikahkan engkau dengan putri saya,”

Lalu wakil mempelai putra mengucapkan kabul dengan redaksi:

قَبِلْتُ نِكَاحَهَا لمُوَكِّلِي

”Saya terima nikahnya untuk orang yang saya wakili," maka akad nikah itu dianggap rusak atau tidak sah, karena tidak ada kesesuaian antara ungkapan ijab dan kabul. Namun, jika wakil mempelai putra itu menjawab dengan:

قَبِلْتُ نِكَاحَهَا

“Saya terima nikahnya," maka akad nikahnya sah bagi wakil tersebut, dan tidak bagi yang diwakilinya.

Karena itu, agar akadnya sah, dalam pernikahan yang diwakilkan, wali atau wakil wali disyaratkan mengucapkan ijab pada wakil mempelai pria:

زوّجتُ فلانةً بنتَ فلانٍ فُلاناً

 “Saya nikahkan fulanah binti fulan kepada si fulan).

Artinya, si wali atau wakil wali menyebutkan identitas pasti kepada mempelai putra, sehingga dapat dibedakan dengan identitas lain atau wakilnya, misalnya dengan mengucapkan ijab:

زوّجتُ فلانةً بنتَ فلانٍ لِفلان ابنِ فلانٍ

“Saya nikahkan fulanah binti fulan kepada fulan bin fulan,

atau

زوّجْتُ مُوَكِّلَكَ فُلاناً فلانةً بنتَ فلانٍ

 “Saya nikahkan orang yang diwakilimu, yaitu fulan kepada fulanah binti (anak) fulan,"
sehingga tidak boleh berijab kepada wakil mempelai putra dengan redaksi:

زَوَّجْتُكَها

 “Saya nikahkan engkau dengannya," atau dengan redaksi serupa.
Sementara wakil mempelai putra disyaratkan agar mengucapkan kabul dengan redaksi:

قَبِلْتُ نِكَاحَهَا لِمُوَكِّلِي فلانٍ

“Saya terima nikahnya fulanah untuk orang yang saya wakili, yaitu si fulan,"
atau dengan redaksi:

قَبِلْتُ نِكَاحَهَا لِفلان ابنِ فلانٍٍ

“Saya terima nikahnya fulanah untuk fulan bin fulan."

Hendaknya diperhatikan, bahwa jika wakil mempelai putra tidak menggunakan redaksi kabul semacam ini, maka akad nikahnya tidak sah.

(Diterjemahkan dari bagian kitab Dhawul Mishbah fi Bayani Ahkamin Nikah, karya KH. Hasyim Asy'ari).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terjemah Kitab Alala dalam Bahasa Jawa dan Indonesia

Shalawat Badawiyah Kubro (An-Nurooniyah) dan Fadhilahnya

Karomah Habib Abdullah bin Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Malang