Munas Alim Ulama NU 2020 Akan Bahas tentang UU Penodaan Agama


Oleh: Ahmad Ishomuddin

Di antara visi Nahdlatul Ulama (NU), sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia, adalah mewujudkan kemaslahatan masyarakat dan mewujudkan keadilan. Hal ini relevan dengan tujuan-tujuan diberlakukannya hukum di tengah masyarakat, antara lain untuk mewujudkan kemaslahatan umum (li tahqiq al-mashalih al-'ammah),  li tahqiq al-amni (mewujudkan keamanan), dan tentu saja juga agar tercipta suasana yang tertib, damai, adil, dan menurunkan angka persengketaan.

Untuk mewujudkan salah satu visi NU di atas, dalam setiap even Musyawarah Nasional Alim Ulama NU, (dan juga pada setiap Muktamar NU), selalu dilangsungkan Bahtsul Masail yang diikuti oleh para kyai (alim ulama NU) dan juga melibatkan para pakar dalam bidang terkait.
Bahtsul Masail NU adalah forum diskusi ilmiah para ahlinya untuk mencari solusi atas problema yang dihadapi sebagai kontribusi penting dari NU untuk bangsa kita. Bahtsul Masail di lingkungan NU biasanya mendiskusikan beberapa isu, seperti terkait isu biomedis, isu ekonomi, isu ekologi, isu politik, isu agama, isu kemanusiaan, isu hukum, dan sebagainya.

Pada Munas Alim Ulama NU yang akan diselenggarakan pada 18-19 Maret 2020 di Pondok Pesantren al-Anwar Sarang, Rembang, Jawa Tengah, Sub Komisi Bahtsul Masail al-Qanuniyyah direncanakan akan membahas secara ilmiah dan mendalam soal UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, dan/atau Penodaan Agama yang dinilai masih problematis dari sisi pasal-pasalnya maupun penegakannya.

Sebagian unsur masyarakat Indonesia menuntut untuk menghapuskannya sama sekali, sebagaimana dicontohkan beberapa negara lain yang telah menghapuskan keberlakuan Blasphemy Law, sedangkan sebagian lainnya menghendaki perlunya revisi terhadapnya. Tentu saja pro kontra tersebut disertai argumentasinya masing-masing yang secara ilmiah amat layak dipelajari, diperdebatkan, dianalisis secara ilmiah, dan seterusnya untuk kemudian diberi simpulan mana yang kira-kira lebih bermanfaat dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tahun 2009 Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid) dan kawan-kawan yang satu ide pernah mengajukan permohonan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas UU No. 1/PNPS/1965 itu karena para pemohon menganggapnya bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28 E ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 38I ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Namun dalam sidang pembacaan putusan MK 19 April 2010 permohonan JR tersebut dijawab dengan amar putusan yang menyatakan menolak permohonan para pemohonan untuk seluruhnya.

Di antara pertimbangan hukum MK yang menarik adalah bahwa negara memiliki peran penyeimbang antara hak asasi dan kewajiban dasar untuk mewujudkan HAM yang berkeadilan. Negara memiliki peran untuk memastikan bahwa dalam pelaksanaan kebebasan beragama seseorang tidak melukai kebebasan beragama orang lain. Di sinilah negara akan mewujudkan tujuannya yakni mencapai kehidupan yang lebih baik.

Pertimbangan hukum MK juga menyatakan bahwa disparitas atau perbedaan penjatuhan pidana yang ditetapkan oleh dalam putusan pengadilan sejatinya bukan merupakan bentuk diskriminasi dan bentuk inkonsistensi multitafsir dari sebuah teks, melainkan merupakan kewenangan hakim yang dapat menilai berat atau ringannya pelanggaran menurut kasusnya masing-masing.

Bilamana permohonan pencabutan UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, dan/atau Penodaan Agama dikabulkan MK tentu akan membawa konsekwensi ke-vakum-an hukum yang ketiadaan aturan  tersebut dapat menimbulkan akibat sosial yang luas meskipun akibat itu sendiri dapat diatasi dengan aturan hukum yang ada, namun untuk melakukan hal yang demikian akan memerlukan social cost yang tinggi. Dengan demikian,meskipun terdapat kebutuhan untuk melakukan revisi terhadap perumusan Pasal 1 UU a quo dan perlunya diciptakan formula rumusan UU yang tidak menegasikan dua unsur, yaitu perlindungan agama di satu pihak dan kebebasan berkeyakinan di pihak lain, namun karena keterbatasan MK yang hanya sebagai negative legislator yang tidak berwenang untuk mengganti rumusan Pasal 1 UU a quo dengan rumusan yang berbeda, sementara pernyataan tidak mempunyai kekuatan hukum akan menimbulkan ke-vakuman-an hukum, maka dengan dasar asas kemanfaatan sambil menunggu penyempurnaan yang dilakukan oleh pembuat UU, maka UU a quo untuk sementara waktu dipertahankan. Demikian, dinyatakan oleh seorang hakim MK, Bapak Harjono, yang memberikan alasan berbeda (concurring oponion) di atas.

Saya sebagai Ketua SC Munas Alim Ulama NU berharap agar para peserta Bahtsul Masail al-Qanuniyyah beserta para pakar hukum yang terlibat di dalamnya dapat menyumbangkan pemikirannya dalam format bahasa hukum demi penyempurnaan isi pasal dalam UU tersebut. Sumbangsih pemikiran itu dirasa penting karena kita menyadari bahwa hukum pidana bersifat mengambil hak asasi orang, yang oleh karena itu aturan hukumnya harus menunjukkan kepastian hukum, harus jelas, tidak multitafsir, dan seterusnya, dan dalam tingkat implementasi (law enforcement) di pengadilan asas-asas hukum pidana, yakni lex certa, lex scripta, dan lex stricta, tidak dilanggar.

Kita berharap masyarakat Indonesia juga sadar hukum, mengutamakan kepentingan umum/hak-hak komunal (communal rights) atas hak-hak individu (individual rights). Masyarakat yang toleran terhadap perbedaan identitas, saling melindungi, memaafkan kesalahan orang lain demi menjaga persaudaraan, dan berhati-hati dalam tutur kata maupun bertindak. Provokasi bernada kebencian untuk menjerat pihak berbeda sebagai penoda agama telah banyak memakan korban anak bangsa--saudara kita juga--di negeri kaum beragama ini dengan mendesak dan dan memaksakan kehendak kepada majelis hakim pengadilan untuk memvonis "terdakwa" dengan pasal "karet" dalam UU di atas, sehingga independensi para hakim dalam memutus perkara masih seringkali dipertanyakan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terjemah Kitab Alala dalam Bahasa Jawa dan Indonesia

Shalawat Badawiyah Kubro (An-Nurooniyah) dan Fadhilahnya

Karomah Habib Abdullah bin Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Malang