Adakah Istilah Kafir dalam Ber-NKRI?
Hasil Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) merekomendasikan agar tidak digunakan istilah kafir dalam relasi sosial dan politik di Indonesia (Banjar, 1 Maret 2019). Sesungguhnya rekomendasi ini mencerminkan ajaran Islam yang luhur dan realitas sejarah politik persamaan dalam Islam.
Sejak zaman Rasulullah Saw memang tidak digunakan istilah ‘kafir’ dalam relasi sosial dan politik. Fiqih politik Islam mengenalkan kita istilah ‘Ahlu Dzimmah’
'AHLU DZIMMAH' BUKAN 'AHLU KAFIR'
Dalam sejarah Islam dikenal kelompok yang disebut ahl al-dzimmah—kelompok minoritas yang dilindungi. Dzimmah artinya perjanjian, jaminan dan perlindungan. Ahl Dzimmah dalam sejarah Islam klasik banyaknya dari golongan yang bukan muslim dan suku-suku lain. Mereka memiliki perjanjian dengan penguasa muslim, yang dijamin hak hidup, milik, beragama dan hak-hak lainnya. Kesetaraan ahl dzimmah dengan orang-orang muslim diakui dalam kesetaran hak-hak dan kewajiban-kewajiban sosial dan politik.
لهم ما لنا وعليهم ما علينا
Bagi mereka hak yang sama seperti hak kita (muslim), dan atas mereka kewajiban yang sama seperti kewajiban kita.
Prinsip ini dikenal dalam kaidah fiqh Islam.
HAK-HAK ASASI' AHLU DZIMMAH' ERA NABI MUHAMMAD SAW: HAK HIDUP, HAK Milik, HAK KEBASAN BERAGAMA DAN HAK PERSAMAAN DI HADAPAN HUKUM
Jaminan terhadap ahl dzimmah berasal dari ketetapan Allah dan Rasul-Nya seperti yang termaktub dalam Perjanjian Nabi Muhammad Saw dengan Kristen Najran. Mereka dijamin hak-haknya dari ancaman dan serbuah dari luar atau pihak lawan, dan juga dilindungi dari diskriminasi dan kesewenang-wenangan yang bisa saja timbul dari pihak Islam.
1. Jaminan terhadap hak hidup, sesuai sabda Nabi Muhammad Saw:
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيْحَهَا تُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ أَرْبَعِيْنَ عَامًا
Barang siapa yang membunuh orang yang terikat perjanjian, maka dia tidak akan mencium bau surga, sungguh bau surga itu tercium dari jarak perjalanan 40 tahun (HR Al-Bukhari)
2. Pelindungan terhadap hak milik, larangan melakukan tindakan sewenang-wenang, merampas, merendahkan dan segala laku kekerasan dan diskriminatif lainnya. Untuk perlindungan ini Nabi Muhammad Saw bersabda:
أَلَا مَنْ ظَلَمَ مُعَاهَدًا، أَوِ انْتَقَصَهُ، أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ، أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيْبِ نَفْسٍ، فَأَنَا حَجِيْجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Ingatlah, siapa yang sewenang-wenang terhadap orang yang terikat perjanjian, merendahkannya, membebaninya di atas kemampuannya atau mengambil sesuatu darinya tanpa kerelaan darinya (merampas), maka aku adalah lawan bertikainya pada Hari Kiamat. (HR Abu Dawud)
3. Kebebasan beragama dan menjalankan perintah agamanya. Prinsip ini diakui dalam ayat-ayat Al-Quran yang menegaskan “tidak ada paksaan dalam agama” (QS Al-Baqarah [2]: 256), diriwayatkan oleh Ibn Ishaq ketika datang delegasi dari Komunitas Najran ke Madinah sebanyak 60 orang yang dipimpin oleh Abdul Masih (Hamba Sang Mesias). Saat mereka ingin melakukan kebaktian, Nabi Muhammad Saw membiarkan mereka melaksanakannya di masjid Nabi dengan menghadap ke arah Timur.
قَدِمُوا عَلَى رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَة فَدَخَلُوا عَلَيْهِ مَسْجِده حِين صَلَّى الْعَصْر عَلَيْهِمْ ثِيَاب الْحِبَرَات جُبَب وَأَرْدِيَة مِنْ جَمَال رِجَال بَنِي الْحَارِث بْن كَعْب يَقُول مَنْ رَآهُمْ مِنْ أَصْحَاب النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا رَأَيْنَا بَعْدهمْ وَفْدًا مِثْلهمْ وَقَدْ حَانَتْ صَلَاتهمْ فَقَامُوا فِي مَسْجِد رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " دَعُوهُمْ " فَصَلَّوْا إلَى الْمَشْرِق
Mereka datang pada Rasulullah di Madinah dan masuk Masjid saat shalat Ashar, mereka memakai pakaian kependetaan: jubah yang sangat indah, mereka adalah orang-orang dari Bani al-Harits bin Ka’ab, di antara sahabat Nabi ada yang berkata kami tidak pernah melihat ada delegasi seperti mereka setelahnya, dan saat tiba shalat mereka, mereka melaksanakannya di masjid Nabi, Rasulullah bersabda “Biarkan mereka.” Dan mereka pun shalat menghadap ke Timur.
Jaminan Nabi Muhammad Saw terhadap komunitas Kristen Najran yang telah disebutkan teksnya sebelum ini, serta yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khaththab terhadap penduduk Illiya’ (Yerussalem) yang tertulis sebagai berikut:
بسم الله الرحمن الرحيم هذا ما أعطى عبد الله، عمر، أمير المؤمنين، أهل إيلياء من الأمان.. أعطاهم أماناً لأنفسهم وأموالهم ولكنائسهم وصلبانهم وسقمها وبريئها وسائر ملتها... أنه لا تسكن كنائسهم ولا تهدم، ولا ينقص منها ولا من حيِّزها ولا من صليبهم ولا من شيء من أموالهم، ولا يُكرهون على دينهم، ولا يضارّ أحد منهم، ولا يسكن بإيلياء معهم أحد من اليهود.
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Ini adalah isi yang diberikan oleh hamba Allah, Umar, pemimpin orang-orang mukmin kepada penduduk Iliyâ dari perlindungan. Aku memberikan keamanan atas jiwa, harta, gereja-gereja, salib-salib, orang sakit, orang yang tidak bersalah dan seluruh kepercayaan mereka. Gereja mereka tidak boleh diduduki dan dihancurkan, tidak boleh diambil sebagian ataupun isinya, demikian pula dengan salib-salib dan harta mereka. Mereka tidak boleh dipaksa untuk meninggalkan agama mereka. Dan seorang pun dari mereka tidak boleh segala hal yang berbahaya. Dan tidak seorangpun dari orang Yahudi boleh tinggal di Iliyâ.
Perjanjian tertulis ini merupakan perjanjian antara orang Islam dengan Kristen, maka disebutkan di sana orang Yahudi tidak boleh tinggal di Jerussalem, karena ada persoalan politik antara umat Islam sejak zaman Nabi Muhammad Saw, di mana kelompok-kelompok Yahudi di Madinah mengkhianati Perjanjian Madinah sehingga mereka diusir dari Madinah. Dan tampaknya ketegangan itu masih terasa hingga era Umar. Umar tidak membenci Yahudi sebagai agama dan orangnya, namun lebih ke soal pengkhianatan politik yang dilakukan mereka. Salah satu bukti bahwa Umar bisa berbuat adil terhadap orang Yahudi dalam sebuah riwayat oleh Imam Malik dalam kitab al-Muwaththa’:
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ اخْتَصَمَ إِلَيْهِ مُسْلِمٌ وَيَهُودِيٌّ فَرَأَى عُمَرُ أَنَّ الْحَقَّ لِلْيَهُودِيِّ فَقَضَى لَهُ فَقَالَ لَهُ الْيَهُودِيُّ وَاللَّهِ لَقَدْ قَضَيْتَ بِالْحَقِّ فَضَرَبَهُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ بِالدِّرَّةِ ثُمَّ قَالَ وَمَا يُدْرِيكَ فَقَالَ لَهُ الْيَهُودِيُّ إِنَّا نَجِدُ أَنَّهُ لَيْسَ قَاضٍ يَقْضِي بِالْحَقِّ إِلَّا كَانَ عَنْ يَمِينِهِ مَلَكٌ وَعَنْ شِمَالِهِ مَلَكٌ يُسَدِّدَانِهِ وَيُوَفِّقَانِهِ لِلْحَقِّ مَا دَامَ مَعَ الْحَقِّ فَإِذَا تَرَكَ الْحَقَّ عَرَجَا وَتَرَكَاهُ
Ada seorang muslim yang bertikai dengan orang Yahudi yang kemudian menghadap Umar bin Khattab, Umar melihat bahwa kebenaran ada pada pihak Yahudi, sehingga ia memenangkan orang Yahudi tersebut. Orang Yahudi berkata kepadanya: “Demi Allah, kamu telah memutuskan perkara dengan benar.” Umar memukulnya dengan tongkat, lalu berkata: “Apa yg kamu ketahui?” Orang Yahudi itu menjawab: “Sungguh kami mendapati bahwa tak ada seorang hakim yang memutuskan suatu perkara dengan benar, kecuali di sebelah kanan dan kirinya ada malaikat yang akan selalu membenarkannya dan membimbingnya pada kebenaran, selama dia bersama dengan kebenaran. Manakala dia meninggalkannya maka mereka juga meninggalkannya.”
Saat Umar mengunjungi Yerussalem, Romo Sophronius yang menjadi pemimpin komunitas Kristen di sana mempersilahkan Umar melaksanakan shalat Ashar di dalam Gereja Kebangkitan (Kanîsah al-Qiyâmah), namun Umar menolaknya karena khawatir umat Islam nantinya akan menuntut gereja itu diubah menjadi masjid.
4. Perlakuan yang sama di hadapan hukum dan tidak boleh dikurangi hak-haknya meskipun berbeda agama.
Ada riwayat yang menarik tentang seorang Yahudi yang dituduh mencuri oleh seorang muslim, Nabi Muhammad Saw hampir menyalahkan orang Yahudi itu hingga turun ayat Al-Quran yang membebaskan orang Yahudi dari tuduhan.
Diceritakan ada orang muslim Madinah bernama Thu’mah bin Ubairiq dari Bani Dhafar, ia mencuri baju perang dari pamannya. Baju perang itu titipan. Setelah ketahuan ia malah menuduh seorang Yahudi bernama Zaid bin al-Samin yang mencuri baju perang itu. Orang Yahudi itu pun melaporkan kepada Nabi Muhammad Saw. Orang-orang dari Bani Dhafar pun mendatangi Nabi. Hampir saja Nabi Muhammad Saw condong kepada Thu’mah kalau tidak turun ayat Al-Quran surat al-Nisâ’ (4) ayat 107-112 yang membebaskan orang Yahudi dari tuduhan dan mengecam tindakan Thu’mah bin Ubairiq.
وَلا تُجَادِلْ عَنِ الَّذِينَ يَخْتَانُونَ أَنْفُسَهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ مَنْ كَانَ خَوَّانًا أَثِيمًا (١٠٧) ... وَمَنْ يَكْسِبْ خَطِيئَةً أَوْ إِثْمًا ثُمَّ يَرْمِ بِهِ بَرِيئًا فَقَدِ احْتَمَلَ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا )١١٢(
Dan janganlah berbantah (membela) orang yang khianat pada dirinya, sungguh Allah tiada mencintai orang yang khianat dan bergelimang dosa....barang siapa yang melakukan kesalahan atau berbuat dosa kemudian melontarkannya kepada orang tiada bersalah, maka sungguh ia memikul kebohongan dan dosa yang nyata.
NON MUSLIM BAYAR 'PAJAK' YANG MUSLIM BAYAR ZAKAT
Zaman klasik Islam ada kewajiban terhadap komunitas non muslim untuk membayar ‘pajak’ yang disebut jizyah dan kharaj. Peraturan ini sering dipahami sebagai perlakuan yang diskriminatif terhadap non muslim. Padahal aturan ini kalau dilihat dari konteks zaman itu merupakan hal yang wajar.
Jizyah dibebankan pada setiap jiwa laki-laki, tidak dibebankan pada perempuan, anak-anak, orang sakit, cacat dan pemuka agama. Beban ini hanya diberlakukan pada laki-laki yang mampu bekerja dan berperang.
Jizyah adalah bayaran atas perlindungan, karena non muslim tidak diwajibkan ikut bela negara (wajib meliter) yang sebaliknya bagi muslim merupakan kewajiban dan juga wajib membayar zakat.
Jizyah bisa gugur kalau memeluk Islam, namun nantinya tetap bayar zakat.
Sedangkan al-kharaj adalah pajak yang diberlakukan pada hasil dagang, sementara kaum muslimin membayar zakat mal (pajak harta).
Kalau melihat konsep ini hakikatnya kewajiban warga negara baik yang muslim dan non muslim tidak ada perbedaan sama sekali, kecuali pada istilah-istilah yang digunakan.
Zakat adalah pungutan dari muslim, untuk non muslim disebut jizyah. Muslim membayar zakat mâl dari kepemilikan dan penghasilannya, sementara non muslim membayar kharaj yang berarti pajak.
Meskipun komunitas non-muslim saat itu tidak diwajibkan atas mereka bela negara dalam wajib meliter, tetapi kalau ada serangan dan ancaman dari luar, mereka juga dituntut terlibat mempertahankan diri dan berkolaborasi dengan tentara muslim.
Melihat persamaan antara muslim dan non muslim Yusuf Al-Qaradhawi memandang baik yang muslim dan non muslim bisa dipahami dalam konsep kebangsaan (nationality) seperti sekarang ini yang menegaskan tidak adanya perbedaan hak-hak antar mereka. Dengan perjanjian, maka komunitas non muslim zaman dulu sebenarnya sudah memperoleh “kebangsaan Islam” (al-jinziyah al-islâmiyah).
Maka dari itu seorang pemikir Mesir Fahmi Huwaidi pernah mengusulkan agar istilah ahl dzimmah tidak lagi dipakai sebagai pembeda antara muslim dan non muslim, karena di samping dasarnya adalah kebangsaan bukan lagi agama, maka mereka satu dalam prinsip kewarganegaraan (al-muwâthanah). Orang non muslim tidak patut lagi disebut dzimmî, tapi mereka adalah warga negara (muwâthin).
Ini dasar Fahmi Huwaidi menulis buku Muwâthinûn Lâ Dzimmiyûn (Mereka Adalah Warga Negara Bukan Ahl Dzimmah).
REKOMENDASI ALIM ULAMA MUNAS NU SESUAI DAN MEMPERKUAT KONSTITUSI UUD 1945
Maka, sudah sangat tepat kalau Munas Alim Ulama NU merekomendasikan agar istilah kafir tidak lagi dipakai dalam konteks kewarganeraannya NKRI, dengan alasan:
1. Nabi Muhammad Saw tidak memakai istilah kafir dalam relasi sosial dan politik.
2. Penggunaan istilah ‘Ahlu Dzimmah’ bukan ‘Ahlu Kafir’.
3. Pengakuan yang setara terhadap ‘Ahlu Dzimmah' yang meliputi hak hidup, hak milik, hak kebebasan beragama dan hak persamaan di hadapan hukum.
4. Di negara-negara Arab muslim pun tidak lagi dipakai istilah ‘Ahlu Dzimmah’ tapi yang dipakai adalah ‘muwathanah’ kewarganegaraan.
5. Munas Alim Ulama NU sesuai dan memperkuat Konstitusi kita: UUD 1945, Pasal 27 ayat (1) disebutkan: ‘Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya’. Inilah prinsip kesetaraan dan persamaan warga negara di hadapan hukum dan pemerintahan, tidak pandang beda agama, etnis, status sosial dan ekonomi, jabatan dan lain-lainnya. Demikian pula dalam Pasal 28D, yang mengakui hak-hak warna negara: pengakuan, perlindungan, kepastian hukum, perlakuan yang sama, dan memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Dalam Pasal 28D ayat (1) ‘Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum’. Ayat (3) ‘Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan’.
Pasal-pasal dari UUD 1945 di atas merupakan penegasan atas persamaan hak warga negara ini tidak pandang beda agama, suku, etnis, status sosial, dan lainnya. Siapa pun berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, yang berjalan dengan mekanisme, prosedur, dan aturan. Tidak boleh ada seseorang yang dipangkas hak dalam memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan hanya karena masalah agama atau etnisnya.
Inilah konstitusi negara kita, yang jelas-jelas menegaskan persamaan dan kesetaraan atas dasar warga di hadapan hukum dan memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum, serta berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Mohamad Guntur Romli
Juru Bicara Partai Solidaritas Indonesia
Komentar
Posting Komentar