Bertemu Walisongo di Prambanan dan Borobudur
Jika memakai ilmu perbandingan, bisa dibilang Candi Prambanan dan Candi Borobudur sebanding dengan Masjidil Haram. Hal itulah yang membuat saya makin kagum pada Wali Songo.
Maksudnya begini; kalau ada "Masjidil Haram", berarti logikanya ada puluhan "masjid agung" kan?
Kalau ada tempat ibadah Hindu-Buddha selevel "Masjidil Haram", berarti bukan tidak mungkin Indonesia zaman dahulu sudah dipenuhi ribuan "mushola" umat Hindu-Buddha.
Orang tidak mungkin bisa membuat sesuatu berskala besar tanpa bisa membuat sesuatu yang berskala kecil-kecil dulu. Tentu kita jadi bisa membayangkan kalau umat beragama Hindu dan Buddha zaman dahulu adalah golongan mayoritas. Kalau umat beragama Hindu dan Buddha zaman dahulu sangat mendominasi, bagaimana bisa Wali Songo membalik kondisi tersebut ?
Kalau Anda belajar sejarah, Anda pasti makin heran dengan Wali Songo.
Silakan Anda baca dengan teliti isi buku Atlas Wali Songo karya sejarawan Agus Sunyoto. Menurut catatan Dinasti Tang – Cina, pada waktu itu (abad ke-6 M), jumlah orang Islam di Nusantara (Indonesia) hanya kisaran ribuan orang.
Dengan klasifikasi yang beragama Islam hanya orang Arab, Persia, dan Cina.
Para penduduk pribumi tidak ada yang mau memeluk agama Islam.
Bukti sejarah kedua, catatan Marco Polo singgah ke Indonesia pada tahun 1200-an M. Dalam catatannya, komposisi umat beragama di Nusantara masih sama persis dengan catatan Dinasti Tang; penduduk lokal Nusantara tetap tidak ada yang memeluk agama Islam.
Bukti sejarah ketiga, dalam catatan Laksamana Cheng Ho pada tahun 1433 M, tetap tercatat hanya orang asing yang memeluk agama Islam. Jadi, kalau kita kalkulasi ketiga catatan tersebut, sudah lebih dari 8 abad agama Islam tidak diterima penduduk pribumi. Agama Islam hanya dipeluk oleh orang asing. Selang beberapa tahun setelah kedatangan Laksamana Cheng Ho, rombongan Sunan Ampel datang dari daerah Champa (Vietnam). Beberapa dekade sejak hari kedatangan Sunan Ampel, terutamanya setelah dua anaknya tumbuh dewasa (Sunan Bonang dan Sunan Drajat) dan beberapa muridnya juga sudah tumbuh dewasa (misalnya Sunan Giri); maka dibentuklah suatu dewan yang bernama Wali Songo. Misi utamanya adalah mengenalkan agama Islam ke penduduk pribumi.
Anehnya, sekali lagi anehnya; pada dua catatan para penjelajah dari Benua Eropa yang ditulis pada tahun 1515 M dan 1522 M, disebutkan bahwa bangsa Nusantara adalah sebuah bangsa yang mayoritas memeluk agama Islam. Para sejarawan dunia hingga kini masih bingung; kenapa dalam tempo tak sampai 50 tahun, Wali Songo berhasil mengislamkan banyak sekali manusia Nusantara. Harap diingat zaman dahulu belum ada pesawat terbang dan telepon genggam. Jalanan kala itu pun tidak ada yang diaspal, apalagi ada motor atau mobil. Dari segi ruang maupun dari segi waktu, derajat kesukarannya luar biasa berat. Tantangan dakwah Wali Songo luar biasa berat.
Para sejarawan dunia angkat tangan saat disuruh menerangkan bagaimana bisa Wali Songo melakukan mission impossible membalikkan keadaan dalam waktu kurang dari 50 tahun, padahal sudah terbukti 800 tahun lebih bangsa Nusantara selalu menolak agama Islam.
Para sejarawan dunia akhirnya bersepakat bahwa cara pendekatan dakwah melalui kebudayaanlah yang membuat Wali Songo sukses besar.
Menurut saya pribadi; jawaban para sejarawan dunia memang betul, tapi masih kurang lengkap. Menurut saya pribadi, yang tentu masih bisa salah; pendekatan dakwah dengan kebudayaan cuma "bungkusnya", yang benar-benar bikin beda adalah "isi" dakwah Wali Songo.
Wali Songo menyebarkan agama Islam meniru persis "bungkus" dan "isi" yang dahulu dilakukan Rasulullah SAW.
Benar-benar menjiplak mutlak metode dakwahnya Kanjeng Nabi. Pasalnya; kondisinya hampir serupa, Wali Songo kala itu ibaratnya "satu-satunya".
Dahulu Nabi Muhammad SAW adalah satu-satunya orang yang berada di jalan yang benar. Istrinya sendiri, sahabat Abu Bakar r.a., sahabat Umar r.a., sahabat Utsman r.a., calon mantunya Ali r.a., dan semua orang di muka Bumi waktu itu tersesat semua. Kanjeng Nabi benar-benar The Only One yang tidak sesat.
Tetapi; berkat ruh dakwah yang penuh kasih sayang, banyak orang akhirnya mau mengikuti agama baru yang dibawa Kanjeng Nabi.
Dengan dilandasi perasaan yang tulus, Nabi Muhammad SAW amat sangat sabar menerangi orang-orang yang tersesat.
Meski kepala Beliau dilumuri kotoran, meski wajah Beliau diludahi, bahkan berkali-kali hendak dibunuh; Kanjeng Nabi selalu tersenyum memaafkan.
Wali Songo pun mencontoh akhlak Kanjeng Nabi sama persis. Wali Songo berdakwah dengan penuh kasih sayang.
Pernah suatu hari ada penduduk desa bertanya hukumnya menaruh sesajen di suatu sudut rumah. Tanpa terkesan menggurui dan menunjukkan kesalahan; Sunan tersebut berkata, "Boleh, malah sebaiknya jumlahnya 20 piring, tapi dimakan bersama para tetangga terdekat ya." Pernah juga ada murid salah satu anggota Wali Songo yang ragu pada konsep tauhid, lalu bertanya, "Tuhan kok jumlahnya satu? Apa nanti tidak kerepotan, dan ada yang terlewat tidak diurus ?". Sunan yang ditanyai hal tersebut hanya tersenyum sejuk mendengarnya. Justru Beliau minta ditemani murid tersebut menonton pagelaran wayang kulit. Singkat cerita, Sunan tersebut berkata kepada muridnya, "Bagus ya cerita wayangnya..." si murid pun menjawab penuh semangat tentang keseruan lakon wayang malam itu.
"Oh iya, bagaimana menurutmu kalau dalangnya ada dua atau empat orang ?" tanya Sunan tersebut. Si murid langsung menjawab, "Justru lakon wayangnya bisa bubar. Dalang satu ambil wayang ini, dalang lain ambil wayang yang lain, bisa-bisa tabrakan." Sang guru hanya tersenyum dan mengangguk-angguk mendengar jawaban polos tersebut.
Seketika itu pula si murid beristighfar dan mengaku sudah paham konsep tauhid.
Begitulah "isi" dakwah Wali Songo, menjaga perasaan orang lain.
Pernah suatu hari ada salah satu anggota lain dari Wali Songo mengumpulkan masyarakat. Sunan tersebut dengan sangat bijaksana menghimbau para muridnya untuk tidak menyembelih hewan sapi saat Idul Adha. Walaupun syariat Islam jelas menghalalkan, menjaga perasaan orang lain lebih diutamakan.
Di atas ilmu fikih, masih ada ilmu ushul fikih, dan di atasnya lagi masih ada ilmu tasawuf. Maksudnya; menghargai perasaan orang lain lebih diutamakan, daripada sekadar halal-haram. Kebaikan lebih utama daripada kebenaran.
Dengan bercanda; Beliau berkomentar bahwa daging kerbau dan sapi sama saja, makan daging kerbau saja juga enak.
Tidak perlu cari gara-gara dan cari benarnya sendiri, jika ada barang halal lain tapi lebih kecil mudharatnya.
Kemudian; ketika berbicara di depan khalayak umum, Beliau menyampaikan bahwa agama Islam juga memuliakan hewan sapi. Sunan tersebut kemudian memberikan bukti bahwa di dalam kitab suci umat Islam, ada yang namanya Surat Al-Baqarah (Sapi Betina). Dengan nuansa kekeluargaan; Sunan tersebut memetikkan beberapa ilmu hikmah dari surat tersebut, untuk dijadikan pegangan hidup siapapun yang mendengarnya.
Perlu diketahui; prilaku Wali Songo seperti Nabi Muhammad SAW zaman dahulu, Wali Songo tidak hanya menjadi guru orang-orang yang beragama Islam.
Wali Songo berakhlak baik pada siapa saja, dan apapun agamanya.
Justru karena kelembutan dakwah para Sunan tersebut; masyarakat yang saat itu belum masuk Islam, justru gotong-royong membantu para murid Beliau-Beliau melaksanakan ibadah qurban.
Kalau Anda sekalian amati, betapa gaya berdakwah para anggota Wali Songo sangat mirip gaya dakwah Kanjeng Nabi.
Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana bisa ?
Hal tersebut bisa terjadi karena ada manual book cara berdakwah, yaitu Surat An-Nahl ayat ke-125.
Ud'u ilaa sabiili Rabbika bilhikmati walmau'izhatil hasanati wajaadilhum billatii hiya ahsan. Inna Rabbaka Huwa a'lamu biman dhalla 'an sabiilihi wa Huwa a'alamu bilmuhtadiin.
Terjemahannya kira-kira demikian :
Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.
Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui mereka yang mendapat petunjuk.
Menurut Ulama Ahlussunnah wal Jama'ah, tafsir ayat dakwah tersebut adalah seperti berikut :
Potongan kalimat awal; ud'u ilaa sabiili Rabbika, yang terjemahannya adalah "Ajaklah ke jalan Tuhanmu"; tidak memiliki objek.
Hal tersebut karena Gusti Allah berfirman menggunakan pola kalimat sastra.
Siapa yang diajak ?
Tentunya orang-orang yang belum di jalan Tuhan.
Misalnya, ajaklah ke Jakarta; ya berarti yang diajak adalah orang-orang yang belum di Jakarta.
Dakwah artinya adalah "mengajak", bukan perintah.
Jadi cara berdakwah yang betul adalah dengan hikmah dan nasehat yang baik.
Apabila harus berdebat, Pendakwah harus menggunakan cara membantah yang lebih baik.
Sifat "lebih baik" di sini bisa diartikan : lebih sopan, lebih lembut, dan dengan kasih sayang.
Sekali lagi; apabila harus berdebat, harap diperhatikan.
Para Pendakwah justru seharusnya menghindari perdebatan.
Bukannya tidak ada angin tidak ada hujan; tiba-tiba ada Ustad yang mengajak debat para Pendeta, Biksu, orang atheis, dan sebagainya.
Berdakwah tidak boleh berlandaskan hawa nafsu.
Harus ditikari ilmu, diselimuti rasa kasih sayang, dan berangkat dari niat yang tulus.
Apalagi ayat dakwah ditutup dengan kalimat penegasan, bahwa hanya Tuhan yang mengetahui kebenaran sejati.
Hanya Allah SWT yang tahu hambaNya yang masih tersesat dan hambaNya yang sudah mendapat petunjuk.
Firman dari Allah SWT tersebut sudah merupakan warning untuk para Pendakwah; jangan pernah merasa sudah suci, apalagi menganggap Objek Dakwah sebagai orang-orang yang tersesat.
Anggaplah Objek Dakwah sebagai sesama manusia yang sama-sama berusaha menuju jalanNya.
Ayat dakwah itulah yang dipegang Nabi Muhammad SAW dan para Pewaris Beliau saat berdakwah.
Maka dari itu; kita jangan kagetan seperti para sejarawan dunia, karena kesuksesan dakwah Wali Songo sebenarnya bukanlah hal yang aneh.
Kanjeng Nabi saja bisa mengubah Jazirah Arab hanya dalam waktu 23 tahun, apalagi Wali Songo yang “hanya” ditugaskan Allah SWT untuk mengislamkan sebuah bangsa.
Dakwah bisa sukses pada dasarnya dikarenakan dua faktor saja.
Pertama, karena niat yang tulus.
Walisongo menyayangi Bangsa Indonesia, maka dari itu Bangsa Nusantara dirayu-rayu dengan penuh kelembutan untuk mau masuk agama Islam. Bila ada kalangan yang menolak, tetap sangat disayangi. Sekalipun orang tersebut enggan masuk agama Islam; tapi bila ada yang sedang sakit, ia tetap dijenguk dan dicarikan obat. Kalau orang tersebut sedang membangun rumah, maka Wali Songo mengerahkan para santri Beliau-Beliau untuk menyumbang tenaga. Bahkan; kepada pihak-pihak yang tidak hanya menolak agama Islam, tapi juga mencela sekalipun; Wali Songo tetap bersikap ramah.
Kedua, karena “satu kata satu perbuatan”.
Wali Songo membawa ajaran agama Islam ke Nusantara, tentu kesembilan Alim Ulama tersebut harus menjadi pihak pertama yang mempraktekkan.
Agama Islam adalah agama anugerah untuk umat manusia, maka Para Wali tersebut selalu berusaha praktek menjadi anugerah bagi umat manusia di sekitarnya.
Semuanya dimanusiakan, karena Wali Songo mempraktekkan inti ajaran agama Islam; rahmatan lil ‘alamin.
Islam tidak mengenal konsep rahmatan lil muslimin.
Begitulah...
Jadi; saya sangat senang kalau bisa berwisata ke Candi Prambanan atau Candi Borobudur, karena di kedua tempat tersebut saya jadi bisa bertemu Walisongo. Pertemuan secara batin.
Tulisan ini bukan untuk menjawab orang-orang yang sering meremehkan Wali Songo. Tulisan ini hanyalah tulisan rindu seseorang yang penuh dosa.
Di tengah ketidakberdayaan menatap gaya dakwah yang terlalu mudah memvonis orang lain masuk neraka, saya seringkali jadi merindukan Wali Songo.
*) Tulisan asli oleh Doni Febriando, dari buku "Kembali Menjadi Manusia".
Komentar
Posting Komentar