Islam Nusantara menurut Santri
Islam adalah agama yang universal, sempurna, dinamis, lentur, elastis dan selalu dapat menyesuaikan dengan situasi dan kondisi. Islam dikenal sebagai salah satu agama yang akomodatif terhadap tradisi lokal dan ikhtilāf ulama dalam memahami ajaran agamanya. Islam dibawa oleh Nabi Muhammad saw. kepada seluruh manusia dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam bidang sosial politik. Beliau membebaskan manusia dari kegelapan peradaban menuju cahaya keimanan
Universalisme Islam yang dimaksud adalah bahwa risalah Islam ditujukan untuk semua umat, segenap ras dan bangsa serta untuk semua lapisan masyarakat (al-Islam Shalih li Kulli Zamān wa Makān). Ia bukan risalah untuk bangsa tertentu yang beranggapan bahwa mereka bangsa yang terpilih, dan karenanya semua manusia harus tunduk kepadanya. Risalah Islam adalah hidayah dan rahmat Allah untuk segenap manusia.
Sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Anbiyā/21 : 107.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Demikian pula dalam Q.S. al-Furqān/25 : 1.
تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا
Mahasuci Allah yang telah menurunkan Furqan (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya (Muhammad), agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam (jin dan manusia).
Universalisme Islam merupakan suatu ajaran yang diterima oleh seluruh umat Islam sebagai akidah. Persoalan universalisme Islam dapat dipahami secara lebih jelas melalui sifat al-Waqi’iyyah (berpijak pada kenyataan obyektif manusia).
Ajaran universal Islam mengenai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara akan terwujud secara substansial, tanpa menekankan simbol ritual dan tekstual. Ajaran Islam bukanlah agama “baru”, melainkan agama yang sudah dikenal dan dijalankan oleh umat manusia sepanjang zaman, karena sejak semula telah terbit dari fitrahnya sendiri. Islam sebagai agama yang benar, agama yang sejati dan mengutamakan perdamaian. Sebagai agama Rahmatan Li al-‘Ālamīn, agama Islam mampu mengakomodasi semua kebudayaan dan perabadan manusia di seluruh dunia.
Meskipun Indonesia merupakan salah satu negara muslim mayoritas di dunia, namun paling sedikit mendapat pengaruh Arabisasi, dibandingkan dengan negara-negara muslim besar lainnya. Dua ciri paling utama dalam kesenian Islam yakni arabesk dan kaligrafi, paling sedikit mempengaruhi budaya Indonesia.
Selain itu, dalam proses Islamisasi di nusantara, penyebaran agama dan kebudayaan Islam tidak menghilangkan kebudayaan lokal dan tidak menggunakan kekuatan militer dalam upaya proses Islamisasi. Hal itu disebabkan karena proses Islamisasi dilakukan secara damai melalui jalur perdagangan, kesenian, dan perkawinan dan pendidikan. Islamisasi juga terjadi melalui proses politik, khususnya pada pemikiran politik Soekarno yang membuka lebar bagi golongan Islam untuk mengislamkan negara dengan wilayah pengaruh yang relatif besar.
Untuk mengetahui hal itu, harus dipahami dalam konteks budaya Indonesia mengalami dualisme kebudayaan, yaitu antara budaya keraton dan budaya populer di tingkat bawah (masyarakat). Dua jenis kebudayaan ini sering dikategorikan dalam kebudayaan tradisional.
A.Mustofa Bisri atau Gus Mus (Rais ‘Aam PBNU) mengungkapkan, saat ini dunia sedang melirik Indonesia sebagai referensi keislaman, sudah tidak lagi melirik ke Islam di Timur-Tengah yang hingga kini masih terjadi banyak keributan. “Sampean (kalian) jangan bingung, mana yang Islam mana yang bukan Islam. Sana kok membunuh orang, sini kok membunuh orang juga. Sana kok ngebom, sini kok ngebom. Itu Islam dengan sesama Islam, apa non-Islam dengan non-Islam ?”. Kita dibingungkan oleh kondisi Islam di Timur Tengah selama ini sebagai kiblat Islam, khususnya Saudi Arabia, tetapi kenyataannya banyak pihak yang tidak cocok dengan Saudi Arabia.
“Kacau balau, antara politik dan agama sudah campur aduk ora karu-karuan. Akhirnya terjadi di negara-negara yang penduduknya mayoritas tidak muslim timbul Islamophobia. Ketika melihat orang Islam, pada ketakutan karena takut dibunuh, takut dibom. Pokoknya yang anti Islam semakin lama semakin meningkat gara-gara umat Islam yang tidak mencerminkan keislaman yang rahmatan lil alamin, tapi justru Laknatan Lil ‘Alamin,”.
Untuk itulah, Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) membuat tema pada muktamar ke-33 lalu tentang Islam Nusantara “Meneguhkan Islam Nusantara Untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”. “Tapi pada geger, kaget-kaget bagi orang yang tidak pernah ngaji. Kalau pernah ngaji pasti tahu idhofah (penyandaran) mempunyai berbagai makna, dalam arti mengetahui kata Islam yang disandarkan dengan kata Nusantara,”.
Gus Mus mencontohkan istilah “air gelas” apakah maknanya airnya gelas, apa air yang di gelas, apakah air dari gelas, apa gelas dari air. Padahal bagi santri di pesantren sudah diajari untuk memahami seperti itu. Secara sederhana, Gus Mus menjelaskan maksud Islam Nusantara yakni Islam yang ada di Indonesia dari dulu hingga sekarang yang diajarkan Walisongo.
“Islam ngono iku seng digoleki wong kono, Islam yang damai, guyub (rukun), ora petentengan, dan yang Rahmatan lil ‘Alamin. Walisongo memiliki ajaran-ajaran Islam yang mereka pahami secara betul dari ajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Walisongo tidak hanya mengajak bil Lisan, tapi juga bil Hal, tidak mementingkan formalitas, tetapi inti dari ajaran Islam,”.
Monggo kopinya di sruput
Komentar
Posting Komentar