Mendorong Katup Dubur karena Ambeyen, Batalkan Puasanya?


Di antara sebab yang membatalkan puasa adalah masuknya sesuatu ke dalam _jauf_, yaitu rongga yang terbuka, dengan sengaja, bukan terpaksa dan mengetahui keharaman tindakan tersebut. Dubur (anus) termasuk jauf (rongga yang terbuka), sehingga ketika istinja’ (bersuci, cebok) pada saat sedang berpuasa, maka harus dilakukan dengan berhati-hati. Tetapi dalam kasus hemoroid atau ambeien (wasir), karena masuknya katup dubur dengan cara didorong dengan jari atau alat tidak bisa dihindarkan, maka dalam kasus ini dimaafkan, yakni tidak membatalkan puasa.

Syekh Nawawî Al-Bantanî (wafat 1316 H) dalam Kitabnya Nihâyatuz Zain fî Irsyâdil Mubtadi’în menjelaskan:

يُفْطِرُ صَائِمٌ بِوُصُوْلِ عَيْنٍ مِنْ تِلْكَ إِلَى مُطْلَقِ الْجَوْفِ مِنْ مَنْفِذٍ مَفْتُوْحٍ مَعَ الْعَمْدِ وَالْاِخْتِيَارِ وَالْعِلْمِ بِالتَّحْرِيْمِ... وَيَنْبَغِي الْاِحْتِرَازُ حَالَةَ الْاِسْتِنْجَاءِ، لِأَنَّهُ مَتَى أَدْخَلَ مِنْ أُصْبُعِهِ أَدْنَى شَيْءٍ فِيْ دُبُرِهِ أَفْطَرَ. وَكَذَا لَوْ فَعَلَ بِهِ غَيْرُهُ ذَلِكَ بِاخْتِيَارِهِ مَا لَمْ يَتَوَقَّفْ خُرُوْجُ الْخَارِجِ عَلَى إِدْخَالِ أُصْبُعِهِ فِيْ دُبُرِهِ، وَإِلَّا أَدْخَلَهُ وَلَا فِطْرَ. وَضَابِطُ دُخُوْلِ الْمُفْطِرِ أَنْ يَصِلَ الدَّاخِلُ إِلَى مَا لَا يَجِبُ غَسْلُهُ فِي الْاِسْتِنْجَاءِ، بِخِلَافِ مَا يَجِبُ غَسْلُهُ فِيْهِ فَلَا يُفْطِرُ إِذَا أَدْخَلَ أُصْبُعَهُ لِيَغْسِلَ الطَّيَّاتَ الَّتِيْ فِيْهِ،....  وَيُعْفَى عَنْ مَقْعَدَةِ الْمَبْسُوْرِ، حَتَّى لَوْ تَوَقَّفَ دُخُوْلُهَا عَلَى الْاِسْتِعَانَةِ بِأُصْبُعِهِ عُفِيَ عَنْهُ (نِهَايَةُ الزَّيْنِ لِلْإِمَامِ النَّوَوِيِّ الْجَاوِيِّ، ص 187-188

Artinya, “Seseorang yang berpuasa menjadi batal sebab sampainya sesuatu benda ke dalam apa yang disebut jauf secara mutlak, yaitu rongga atau lubang yang terbuka, secara sengaja, tanpa terpaksa dan mengetahui hal ini haram dilakukan saat puasa... Seyogianya seseorang menjaga diri saat istinja’ (cebok), karena bila ia memasukkan jarinya ke dalam bagian bawah dalam anusnya, maka itu membatalkan puasa. Demikian juga membatalkan puasa, bila masuknya sesuatu itu dilakukan oleh orang lain dengan izinnya (bukan karena terpaksa), selama keluarnya sesuatu (kotoran tinja) tidak bergantung kepada memasukkan jari ke dalam anusnya. Tetapi, bila keluarnya tinja itu hanya bisa dilakukan dengan cara memasukkan jari tersebut, maka tidaklah batal puasanya.

Tolok ukur masuknya sesuatu yang membatalkan puasa adalah masuknya sesuatu kepada bagian yang tidak wajib dibasuh dalam istinja’. Berbeda dengan bagian yang wajib dibasuh saat istinja’, maka tidaklah membatalkan puasa bila seseorang memasukkan jarinya untuk membasuh lipatan-lipatan anus yang ada dalam bagian yang wajib dibasuh.

Dan dimaafkan masalah katup dubur orang yang ambeien, sehingga jika masuknya katup dubur orang yang ambeien tersebut dengan cara menggunakan jarinya maka dimaafkan,–maksudnya tidak membatalkan puasa,” (Lihat Syekh Nawawî Al-Jâwî, Nihâyatuz Zain fî Irsyâdil Mubtadi’în, [Beirut, Dârul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 2002 M], halaman 183).

Sayid ‘Abdurrahman Bâ‘alwî, mufti Hadhramaut, dalam kitabnya Bughyatul Mustarsyidîn menegaskan:

مَسْأَلَةٌ) حَاصِلُ مَا ذَكَرَهُ فِي التُّحْفَةِ فِيْ مَقْعَدِهِ الْمَبْسُوْرِ أَنَّهُ لَا يُفْطِرُ بِعَوْدِهَا وَإِنْ أَعَادَهَا بِنَحْوِ أُصْبُعِهِ اِضْطِرَارًا...  (ُبغْيَةُ الْمُسْتَرْشِدِيْنَ، ص 111

Artinya, “(Masalah) Simpulan penjelasan yang disebutkan dalam Kitab At-Tuhfah mengenai katup dubur orang yang ambien adalah bahwa tidak batal puasa seseorang sebab mengembalikan atau mendorong ke dalam posisi katup duburnya tersebut, meskipun ia mengembalikannya dengan semisal jarinya, karena terpaksa,” (Lihat Ba‘alwî, Bughyatul Mustarsyidîn, [Singapura-Jedah-Indonesia, Al-Haramain: tanpa tahun], halaman 111). Demikian penjelasan ini, semoga dapat dipahami dengan baik. Kami terbuka menerima masukan dari pembaca yang budiman.

_Wallâhul muwaffiq ilâ aqwamith tharîq._

_Wassalamu ’alaikum wr. wb._

*(Ahmad Ali MD)*

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terjemah Kitab Alala dalam Bahasa Jawa dan Indonesia

Shalawat Badawiyah Kubro (An-Nurooniyah) dan Fadhilahnya

Karomah Habib Abdullah bin Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Malang