Apakah Rambut Wanita Termasuk Aurat?
A. Sejarah Turunnya QS.33:59 (Al-Ahzab)
● Pada zaman ke-Nabi-an Muhammad, masih ada perbudakan dan diperlukan adanya pembeda antara mereka dan wanita-wanita merdeka, serta bertujuan menghindarkan gangguan lelaki usil.
● Menurutnya, sebelum turunnya ayat ini, cara berpakaian wanita merdeka atau budak itu sama. Karena itu lelaki usil sering kali mengganggu wanita-wanita khususnya yang mereka ketahui atau duga sebagai budak sahaya.
● Untuk menghindarkan gangguan tersebut, serta menampakkan kehormatan wanita muslimah (terutama wanita merdeka) ayat di atas turun.
● Sumber Referensi: Rangkuman Article: Konstruksi Pemikiran Quraish Shihab Tentang Jilbab
● Garis bawahi kalimat-kalimat berikut:
1. QS.33:59 (Al-Ahzab) diturunkan untuk membedakan pakaian wanita merdeka dan wanita budak.
2. Pada zaman ke-Nabi-an Muhammad wanita budak (bahkan setelah turunnya QS.33:59 (Al-Ahzab)) terlihat rambutnya (karena QS.33:59 (Al-Ahzab) hanya untuk menjadi pembeda antara wanita merdeka dan wanita budak).
● Nah, dari 2 kalimat yang digarisbawahi di atas, mari kita mulai meneliti kenyataannya:
1. Apakah di mata Allah para wanita budak yang tetap terlihat rambutnya (bahkan setelah turunnya QS.33:59 (Al-Ahzab)) terlihat lebih hina daripada wanita merdeka yang memakai jilbab?
2. Apakah di mata Allah, wanita merdeka yang memakai jilbab itu lebih mulia daripada wanita budak yang rambutnya terlihat?
3. Apakah lalu Allah akan menghukum dan mengazab wanita budak itu yang masih terlihat rambutnya?
● Jawabannya sederhana: MAHA ADIL ALLAH dari 3 point sikap yang disebutkan di atas.
● Dan jawaban sederhana dari 3 point di atas sangat bisa dijelaskan dengan lebih detail dalam article ini.
__________
::: B. Definisi Jalabibihin Pada QS.33:59 (Al-Ahzab) :::
● Berdasarkan Al-Qur’an terjemahan Bahasa Indonesia, kata Jalabibihin Pada QS.33:59 (Al-Ahzab) diterjemahkan sebagai “jilbab”.
● NAMUN, berdasarkan Al-Qur’an yang sudah diterjemahkan sebagai Tafsir Shahih International, kata Jalabibihin Pada QS.33:59 (Al-Ahzab) diterjemahkan sebagai “memanjangkan sebagian pakaian luarnya”.
● Kenapa bisa ada diterjemahkan secara berbeda oleh 2 bahasa yang berbeda? Jawabannya adalah:
1. Bahasa kamus harfiah dari kata Jalabibihin ya memang jilbab.
2. Tapi kenapa menurut Tafsir Shahih International diterjemahkan sebagai “memanjangkan sebagian pakaian luarnya”?
3. Hal tersebut dikarenakan:
3.1. Jilbab adalah budaya pakaian yang terhormat khas Timur Tengah.
3.2. Al-Qur’an diperuntukkan bagi seluruh manusia di dunia, bukan hanya untuk wanita di Timur Tengah. Jika definisi Jalabibihin diterjemahkan bulat-bulat sebagai jilbab, maka artinya telah memaksakan budaya Timur Tengah kepada seluruh dunia.
3.3. Para ulama berbeda pendapat mengenai batas aurat wanita, termasuk di dalamnya pembahasan mengenai jilbab dan rambut wanita.
● Mari kita gali lebih detail.
__________
::: C. Jilbab Adalah Budaya Timur Tengah, BUKAN Baju Muslim :::
● Ini menunjukkan bahwa di Timur Tengah, yang Kristen pun memakai jilbab, bahkan yang Yahudi pun memakai Niqab (Cadar + Penutup muka hingga batas mata).
● Bahkan sebenarnya di Timur Tengah, jilbab sudah menjadi wacana dalam Code Bilalama (3.000 SM), kemudian berlanjut di dalam Code Hammurabi (2.000 SM) dan Code Asyiria (1.500 SM).
● Ketentuan penggunaan jilbab sudah dikenal di beberapa kota tua seperti Mesopotamia, Babilonia, dan Asyiria.
● Sumber Referensi: http://www.dw.com/id/jilbab-kewajiban-atau-bukan/a-19388111
● Sementara itu, Muhammad Thahir bin Asyur (seorang ulama besar Tunis) menuliskan dalam Maqashid Al-Syari’ah sebagai berikut:
[Quote]:
Kami percaya bahwa adat kebiasaan satu kaum tidak boleh – dalam kedudukannya sebagai adat – untuk dipaksakan terhadap kaum lain atas nama agama, bahkan tidak dapat dipaksakan pula terhadap kaum itu.
● Sumber Referensi: M. Quraish Shihab, Penerbit Mizan, Februari 2014. “Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat”. (Hal. 236).
● Dengan demikian:
1. Jilbab itu bukan baju muslim karena non-muslim pun sejak jaman dahulu kala juga memakai jilbab.
2. Jilbab itu adalah budaya pakaian di Timur Tengah, bahkan umat Kristen maupun Yahudi pun memakai jilbab bahkan Niqab.
3. Mengingat jilbab merupakan budaya pakaian Timur Tengah, jilbab tidak boleh dipaksakan kepada umat Islam lainnya yang bukan berada di Timur Tengah.
__________
::: D. Para Ulama Berbeda Pendapat Mengenai Batas Aurat Wanita (Termasuk Rambut Dan Jilbab) :::
D.1. Para Ulama Berbeda Pendapat Mengenai Rambut Dan Jilbab
● Apakah rambut wanita itu termasuk aurat sehingga wajib ditutup?
1. Al-Qur’an tidak menyebutkan batas aurat (termasuk tidak menyebutkan rambut sebagai aurat perempuan).
2. Para ulama pun berbeda dalam menjawab perihal rambut sebagai batas aurat perempuan.
● Sumber Referensi:
1. M. Quraish Shihab, Penerbit Lentera Hati, Oktober 2011. “Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an (Vol. 8)”. (Hal. 534).
2. http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/isnet/Nadirsyah/Fiqh.html
● Menurut Muhammad Sa'id Al-Asymawi, hadis-hadis yang menjadi rujukan tentang pewajiban jilbab atau hijâb itu adalah Hadis Ahad yang tak bisa dijadikan landasan hukum tetap.
● Bila jilbab itu wajib dipakai perempuan, dampaknya akan besar.
● Seperti kutipannya: “Ungkapan bahwa rambut perempuan adalah aurat karena merupakan mahkota mereka. Setelah itu, nantinya akan diikuti dengan pernyataan bahwa mukanya, yang merupakan singgasana, juga aurat.
● Suara yang merupakan kekuasaannya, juga aurat; tubuh yang merupakan kerajaannya, juga aurat.
● Akhirnya, perempuan serba-aurat.” Implikasinya, perempuan tak bisa melakukan aktivitas apa-apa sebagai manusia yang diciptakan Allah karena serba aurat.
● Padahal berdasarkan QS.5:6 (Al-Ma’idah): “Allah tidak berkehendak menjadikan bagi kamu sedikit kesulitan pun”.
● Bahkan tradisi berjilbab di kalangan sahabat dan tabi'in, menurut Al-Asymawi, lebih merupakan keharusan budaya daripada keharusan agama.
● Akhirnya Al-Asymawi secara blak-blakan, mengurai bahwa jilbab itu bukan kewajiban.
● Sementara itu, bagaimana dengan apa yang tercantum pada QS.33:59 (Al-Ahzab) bahkan hadits-hadits pendukungnya yang cukup banyak?
● Jawabannya adalah: tidak semua perintah yang tercantum dalam Al-Qur’an merupakan perintah yang wajib.
● Bahkan Muhammad Thahir bin Asyur pun menjelaskan bahwa hadits-hadits pendukung dari QS.33:59 (Al-Ahzab) merupakan hadits yang bersifat “sebaiknya” dilaksanakan dan BUKAN bersifat seharusnya dilaksanakan.
● Ini menunjukkan bahwa ada ulama yang mengatakan bahwa jilbab itu tidak wajib untuk menutup rambut, dan ada yang mengatakan jilbab itu wajib untuk menutup rambut, lalu bagaimana jadinya?
● Jika terdapat perbedaan pendapat antar ulama, maka kita bisa merujuk kepada kaidah fiqih yang berbunyi: “Yang meragukan tentang hukum wajibnya, maka tidak wajib dilakukan” (Taimiyah, 1422 H:265).
● Sumber Analisis:
1. http://www.dw.com/id/jilbab-kewajiban-atau-bukan/a-19388111
2. M. Quraish Shihab, Penerbit Mizan, Februari 2014. “Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat”. (Hal. 237).
● Jadi jelas bahwa rambut itu tidak mutlak aurat wanita, karena:
1. Al-Qur’an itu sendiri tidak menyebutkan secara tegas mengenai batasan aurat perempuan, termasuk di dalamnya mengenai rambut.
2. Para ulama berbeda pendapat mengenai batas aurat wanita, termasuk apakah rambut itu perlu ditutup atau tidak.
3. Jika terdapat perbedaan pendapat antar ulama, maka kita bisa merujuk kepada kaidah fiqih yang berbunyi: “Yang meragukan tentang hukum wajibnya, maka tidak wajib dilakukan”(Taimiyah, 1422 H:265).
4. Kalau rambut dipaksakan sebagai aurat perempuan, implikasinya sangat besar, karena nantinya tubuh perempuan adalah serba aurat dan tidak bisa melakukan apa-apa. Padahal Allah tidak berkehendak menyulitkan hidup kaum perempuan.
5. Tradisi berjilbab hanyalah kewajiban budaya dan bukan kewajiban agama.
=====
D.2. Tidak Ada Hukuman Atau Azab Terhadap Wanita Yang Rambutnya Terlihat Secara Publik
● Dari penjelasan point D.1. jelas sekali bahwa rambut tidaklah merupakan sebuah aurat mutlak perempuan.
● Kalaupun mau dipaksakan sebagai sebuah kewajiban, berarti apabila “kewajiban” (dengan tanda kutip) tersebut dilanggar, maka seharusnya ada hukumannya.
● Pertanyaannya, apakah ada hukuman bagi wanita yang menampilkan rambutnya di muka umum?
● Jawabannya adalah TIDAK ADA.
● Ada keterangan yang selalu digunakan oleh pihak-pihak yang suka memaksakan rambut sebagai aurat wanita yang mengatakan adanya azab bagi wanita yang menampilkan rambutnya di depan umum dan tidak memakai jilbab:
[Quote]:
Sayidina Ali RA menceritakan suatu ketika melihat Rasulullah saw menangis manakala ia datang bersama Fatimah.
Lalu keduanya bertanya mengapa Rasulullah SAW menangis. Beliau menjawab, “Pada malam aku di-isra’- kan, aku melihat perempuan-perempuan yang sedang disiksa dengan berbagai siksaan. Itulah sebabnya mengapa aku menangis”.
Wahai putriku, adapun mereka yang tergantung rambutnya hingga otaknya mendidih adalah perempuan yang tidak menutup rambutnya sehingga terlihat oleh laki-laki bukan muhrimnya.
● Setelah diteliti lebih lanjut, ternyata keterangan tersebut hanyalah hadits PALSU karena tidak tercantum di dalam kitab-kitab hadits yg disusun oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, termasuk kitab hadits yang Shohih.
● Selengkapnya: Hadits Palsu Atas Siksaan Perempuan Tidak Berjilbab
● Berhubung Hadits terhadap siksaan bagi wanita yang tidak menutup rambutnya ternyata adalah Hadits palsu, berarti Hadits tersebut tidak bisa dipakai.
● Ini membuktikan bahwa siksaan neraka bagi wanita BUKAN-lah terletak dari rambutnya yang tidak tertutup dan terlihat secara publik.
● Dengan demikian, bagaimana mau dipaksakan sebagai kewajiban jika tidak ada siksaan neraka/ hukuman bagi wanita yang memperlihatkan rambutnya secara publik.
● Inilah sebabnya pada point D.1 disebutkan bahwa: tidak semua perintah yang tercantum dalam Al-Qur’an merupakan perintah yang wajib, karena memang tidak ada hukuman/ azab neraka bagi wanita yang tidak memakai jilbab.
● Inilah yang menjadi jawaban atas pertanyaan: “Apakah lalu Allah akan menghukum dan mengazab wanita budak itu yang masih terlihat rambutnya?” sebagaimana diungkit pada point A.
=====
D.3. Para Ulama Berbeda Pendapat Mengenai Batasan Aurat Wanita
● Pada point D.1. dan D.2. sudah dijelaskan bahwa rambut tidaklah aurat mutlak wanita karena memang tidak ada hukumannya jika wanita menampilkan rambutnya di depan umum.
● Lalu bagaimana dengan bagian tubuh wanita lainnya?
● Jawabannya adalah:
1. Terhadap aurat wanita yang lainnya, di dalam ayat-ayat Al-Qur’an belum secara detail menjelaskan seberapa panjang penutupan aurat pada wanita itu.
2. Kalaupun menggunakan rujukan hadits, hadits yang ada cenderung bersifat mursal (bahkan ada yang mengatakan hadits-nya dhaif).
3. Ketika ada ayat Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa perlunya memanjangkan pakaiannya, ayat tersebut diturunkan dalam rangka membedakan wanita merdeka dan budak, serta menghindarkan gangguan lelaki.
4. Jika sudah dapat dipenuhi kehormatan wanita dan terhindar dari gangguan lelaki, maka jilbab yang tertutup rapat, panjang, dan longgar itu sudah tidak diperlukan lagi.
5. Para pendapat ulama terhadap definisi seberapa panjang aurat wanita masih banyak timbul perbedaan pendapat, tidak ada titik temu:
5.1. Ada ulama seperti Ibnu Abbas, Qatadah, dan Miswar bin Makhzamah berpendapat bahwa yang boleh dilihat setengah lengan.
5.2. Abu Yusuf, murid Imam Abu Hanifah (Madzhab Hanafi), berpendapat bahwa separuh bagian bawah betis perempuan boleh terlihat.
5.3. Beberapa ulama lainnya mengatakan bahwa seluruh lengan dan seluruh betis perlu ditutup.
5.4. Ini menunjukkan bahwa batasan aurat perempuan tidak ada titik temu.
6. Jika terdapat perbedaan pendapat antar ulama, maka kita bisa merujuk kepada kaidah fiqih yang berbunyi: “Yang meragukan tentang hukum wajibnya, maka tidak wajib dilakukan” (Taimiyah, 1422 H:265).
● Sumber Referensi:
1. Rangkuman Article: Konstruksi Pemikiran Quraish Shihab Tentang Jilbab
2. Ahmad Sahal dan Munawir Aziz, Penerbit Mizan, 2015. “Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqh Hingga Paham Kebangsaan”. (Hal. 112).
● Contoh penerapan dari teori yang disebutkan di atas ke dalam fashion kehidupan sehari-hari bisa merujuk pada article: Contoh Fashion Menutup Aurat Wanita TANPA JILBAB
__________
::: E. Kesimpulan Akhir :::
1. Al-Qur’an itu sendiri tidak menyebutkan secara tegas mengenai batasan aurat perempuan, termasuk di dalamnya mengenai rambut.
2. Para ulama berbeda pendapat mengenai batas aurat wanita, termasuk apakah rambut itu perlu ditutup atau tidak.
3. Kalau rambut dipaksakan sebagai aurat perempuan, implikasinya sangat besar, karena nantinya tubuh perempuan adalah serba aurat dan tidak bisa melakukan apa-apa. Padahal Allah tidak berkehendak menyulitkan hidup kaum perempuan.
4. Harus diingat bahwa tidak semua perintah yang tercantum dalam Al-Qur’an merupakan perintah yang wajib.
5. Ditambah lagi tidak ada dalil yang mengatakan bahwa ada azab/ hukuman terhadap wanita yang menampilkan rambutnya di muka umum.
6. Terhadap aurat wanita yang lainnya, di dalam ayat-ayat Al-Qur’an belum secara detail menjelaskan seberapa panjang penutupan aurat pada wanita itu.
7. Kalaupun menggunakan rujukan hadits, hadits yang ada cenderung bersifat mursal (bahkan ada yang mengatakan hadits-nya dhaif).
8. Ketika ada ayat Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa perlunya memanjangkan pakaiannya, ayat tersebut diturunkan dalam rangka membedakan wanita merdeka dan budak, serta menghindarkan gangguan lelaki.
9. Jika sudah dapat dipenuhi kehormatan wanita dan terhindar dari gangguan lelaki, maka jilbab yang tertutup rapat, panjang, dan longgar itu sudah tidak diperlukan lagi.
10. Para pendapat ulama terhadap definisi seberapa panjang aurat wanita masih banyak timbul perbedaan pendapat, tidak ada titik temu:
10.1. Ada ulama seperti Ibnu Abbas, Qatadah, dan Miswar bin Makhzamah berpendapat bahwa yang boleh dilihat setengah lengan.
10.2. Abu Yusuf, murid Imam Abu Hanifah (Madzhab Hanafi), berpendapat bahwa separuh bagian bawah betis perempuan boleh terlihat.
10.3. Beberapa ulama lainnya mengatakan bahwa seluruh lengan dan seluruh betis perlu ditutup.
10.4. Ini menunjukkan bahwa batasan aurat perempuan tidak ada titik temu.
11. Jika terdapat perbedaan pendapat antar ulama, maka kita bisa merujuk kepada kaidah fiqih yang berbunyi: “Yang meragukan tentang hukum wajibnya, maka tidak wajib dilakukan” (Taimiyah, 1422 H:265).
12. Tradisi berjilbab hanyalah kewajiban budaya Timur Tengah dan bukan kewajiban agama.
13. Dan tradisi budaya Timur Tengah tidak bisa dipaksakan kepada umat Islam lainnya yang bukan berada di Timur Tengah hanya dengan alasan atas nama agama.
14. Dengan demikian rambut itu bukan aurat mutlak perempuan dan jilbab itu sebenarnya bukanlah sebuah kewajiban.
__________
::: F. Kalimat Penutup :::
● Di tengah gencarnya penyebaran doktrin dengan segala cara untuk mendorong kaum perempuan untuk berjilbab, mulai dari cara halus hingga cara kasar seperti:
1. “Mbak, kalo Mbak pake jilbab, pasti Mbak jadi tambah cantik bagaikan sholehah dech”.
2. “Yaaah, gak-pa-pa lah Mbak, panas dikit pake jilbab, daripada kepanasan di neraka”.
3. “Wah Mbak, temen-temen Mbak udah pada bertobat lalu pake jilbab semua lho, Mbak kapan nih bertobat dan mulai berjilbab?”.
● Perempuan terus-menerus di-dorong, mulai dari dengan pancingan memuji, di-takut-takut-in, dipancing perasaan “gak enak”-nya, dan masih banyak contoh “serangan” psikologis lainnya yang tidak mungkin dijabarkan satu demi satu di dalam article ini.
● Jika propaganda psikologis ini berhasil, maka perempuan Indonesia pun akhirnya merasa bersalah, takut, dan merasa “gak enak”, kemudian akhirnya memutuskan untuk memakai jilbab/ hijab atas kemauan mereka sendiri.
● Akibatnya, banyak sekali perempuan yang tadinya tidak pernah memakai jilbab, lalu dengan segala macam dorongan tersebut, mulai dari yang paling halus hingga dengan cara kasar, akhirnya tiba-tiba jadi “mendadak jilbab”.
● Seringkali wanita itu dengan kombinasi rasa kurang percaya dirinya dan kurangnya memahami batasan aurat wanita, merasa bahwa selama dirinya tidak memakai jilbab, maka pakaian dirinya dianggap tidak Islami.
● Para ladies/ girls/ Moms tidak sadar bahwa ketika dirinya tidak pernah memakai jilbab selama ini, bisa jadi bahwa pakaiannya sebenarnya sudah Islami (selama batasan aurat sebagaimana dibahas pada point D sudah terpenuhi).
● Namun seringkali para ladies/ girls/ Moms tidak pernah menyadari bahwa pakaiannya yang tidak pernah pakai jilbab itu adalah pakaian yang sudah Islami karena para ladies/ girls/ Moms selalu dicekokin dengan dorongan psikologis seperti disebut di atas.
● Akibatnya, para ladies/ girls/ Moms lebih percaya terhadap dorongan-dorongan psikologis tersebut, kalian percaya bahwa pakaian yang kalian kenakan sekarang (yang tidak pakai jilbab) itu adalah pakaian yang tidak Islami, tidak mencerminkan ke-sholehan, lalu kalian berusaha memutar balikkan pakaian yang kalian kenakan tanpa jilbab itu dengan menjadi “mendadak jilbab”.
● Padahal, sekali lagi, jilbab itu bukanlah busana muslim dan tidak ada unsur kewajibannya, toh walaupun para ladies/ girls/ Moms tidak pakai jilbab pun tidak akan mendapat hukuman ke neraka ‘kan? Lalu letak “kewajibannya” dimana jika tidak ada hukumannya?
● Jadi untuk apa para ladies/ girls/ Moms kehilangan percaya diri dengan pakaian tanpa jilbab yang sudah kalian kenakan selama ini? Toh baju kalian yang tanpa jilbab pun (selama sudah memenuhi batasan aurat sebagaimana dibahas pada point D) sudahlah Islami.
● Bagaimana ladies/ girls/ Moms, kalian siap membangun rasa percaya diri dengan pakaian tanpa jilbab yang sudah kalian kenakan selama ini? Kalian siap menjadi percaya diri bersama saya?
● Yuk, P.E.R.C.A.Y.A D.I.R.I bersama saya.
● Yuk, P.E.R.C.A.Y.A D.I.R.I dengan baju yang kalian kenakan yang tanpa jilbab itu, walaupun kalian adalah jumlah minoritas yang semakin hari semakin sedikit.
Komentar
Posting Komentar