Teroris Berkedok Mualaf
Tidak ada yang salah dengan status mualaf. Islam sangat memuliakan manusia karena Islam adalah agama kemanusiaan. Islam sangat menghormati kaum mualaf karena mereka butuh dukungan dan motivasi agar kian kokoh pondasi keimanan dan ketakwaannya. Islam sangat suka cita dan bahagia menerima saudara-saudaranya yang baru memeluk Islam.
Motivasi dan semangat memperdalam keislaman sangat penting bagi mualaf. Tak cukup hanya semangat dan modal dakwah yang ngepres atau pas-pasan. Mualaf boleh menjadi ustadz, kiai bahkan ulama asalkan keilmuannya sudah mumpuni. Jadi tidak cukup hanya modal semangat yang menggebu lantas disebut ulama.
Akan menjadi problem dan masalah yang besar jika mualaf menjelma menjadi ustadz atau ulama hanya dengan semangat menggebu tanpa basis ilmu agama yang kokoh dan kompatibel. Seharusnya menyampaikan tentang indahnya Islam, indahnya toleransi, damainya persatuan namun akan berbalik arah menjadi provokasi dan caci maki.
Mimbar suci yang seharusnya tempat untuk menyampaikan ilmu dan pesan-pesan Islam yang penuh rahmat disulap menjadi ajang penghinaan dan mengumbar nafsu kebencian. Seharusnya sadar karena baru menjadi mualaf kemarin sore namun dengan lantangnya menghina ulama besar seperti KH. Ma'ruf Amin sebagai orang yang uzur namun gila jabatan dan TGB dengan sebutan nama yang tidak pantas. Efek mualaf tanggung, berjubah agama tapi lidahnya bagai orang yang tak beragama. Bukan dakwah yang dihasilkan namun menebar teror.
Artinya, kita tak perlu terpesona dengan mualaf demikian. Tak perlu tersihir dengan pemecah-belah yang berkedok agama. Apalagi mualaf yang gemar menghina agama masa lalunya. Bukan mendapat hidayah namun semakin tersesat sejauh-jauhnya. Hanya saja tertipu dengan jubah agamanya atau tertipu dengan hafalan satu atau dua ayat yang sebenarnya masih berantakan dan tidak karuan.
Layakkah jika ada manusia semacam itu mengaku sebagai mualaf? Pantaskah manusia semacam itu disematkan gelar sebagai seorang ustadz? Jangankan mualaf, jangankan ustadz, disebut manusia beragamapun tidak layak. Lebih pantasnya manusia yang tak beragama namun menipu dengan gamis dan simbol-simbol agama.
Munculnya mualaf model demikian tidak mendatangkan kebaikan sama sekali bahkan merusak citra agama, baik agama sebelumnya terlebih agama yang baru dipeluknya. Mencaci maki agamanya terdahulu dan merusak citra agama yang baru dianutnya karena sikapnya yang menyimpang dari ajaran agama. Kembali keagamanya terdahulu mungkin sulit, bertahan dengan agama barunya menjadi musibah dan petaka.
Bersyukurnya, tidak semua model mualaf berperilaku demikian. Tidak semua mualaf menjadi ustadz karbitan. Ada banyak mualaf yang benar-benar kaffah dengan status kemualafannya. Penuh toleransi, menebarkan perdamaian kepada semua agama dan menjadi perekat perdamaian antar agama. Inilah tanda mualaf yang benar-benar mendapat hidayah sejati, bukan hidayah palsu yang kegemarannya menghina agamanya terdahulu untuk meraih simpati terus mencaci maki ulama dari agama barunya.
Aneh sungguh aneh. Mualaf palsu yang demikian masih mendapat panggung dan masih diustadzkan oleh pengikutnya. Apa jadinya negeri ini jika semakin banyak lahir mualaf-mualaf gadungan semacam itu? Dihormati hanya karena lihai membongkar keburukan agamanya terdahulu. Minim pengetahuan agama, minim dalil tapi maksi dalam orasi dan provokasi.
Mungkin ini yang disebut penjahat agama. Merusak citra agama manapun dimana dia melabuhkan agamanya. Layaknya memang tidak usah mengaku sebagai orang yang beragama. Apalagi mengaku Islam, sungguh sangat jauh antara sama' (langit) dan sumur.
Atau mungkin ini yang disebut teroris berkedok agama. Agama hanya dijadikan modus dan alat penipu manusia awam. Agama hanya dijadikan komoditi agar laku di mimbar-mimbar dan di majelis yang katanya berstempel sunnah. Siapa yang tidak segolongan, siapa yang beda pilihan, siapa yang berbeda pendapat dengannya akan dicap sebagai munafik, sesat, anti Islam bahkan kafir. Seolah menebar dakwah namun hakikatnya menabuh genderang peperangan dan fitnah.
Komentar
Posting Komentar