Menjaga Otentisitas Al-Qur'an dari Ideologi Wahabi


Oleh KH. Imam Ghazali Said

Otentisitas Alquran dapat dilihat dari dua sisi; ideologis-normafif dan dinamika historis penulisan Mushaf. Secara normatif-ideologis bahkan teologis kaum Muslim sangat yakin terhadap jaminan Allah dalam firmanNya: انا نحن نزلنا الذكر وانا له لحافظون  "Sungguh Kami yang menurunkan al-zikr (Alquran) dan  sungguh-sungguh Kami (pula) yang menjaganya". Bagaimana teknis Allah menjaga otentistas Alquran ? Ini dapat ditelusuri dari dinamika tranformasi teks Alquran, cara membaca, memahami dan menghayati Alquran dari masa Nabi saw, generasi sahabat, tabiin dan seterusnya sampai era digital ini. Ternyata berbagai aspek terkait Alquran selalu berjalan dinamis sesuai perkembangan teknologi pada masing- masing generasi.

Tulisan ini hanya ingin menelusuri dinamika penjagaan otentisitas mushaf Alquran pada abad XX dan awal abad XXI M/abad XIV-XV H. Setalah runtuhnya dinasti Usmani pada 1924 dan sebagian besar negara-negara mayooritas berpenduduk Muslim membentuk negara-bangsa  independen yang tak terikat secara struktural dengan pemimpin/raja, khalifah, sultan dan presiden negara manapun. Saat itulah "negara-negara bangsa" merdeka itu membentuk Kementrian Agama/Urusan Islam/Wakaf dan beberapa nama terkait yang diantara tugasnya; membuat Lembaga Pentashih Mushaf Alquran, yang bertugas meneliti sekaligus menjaga otentisitas mushaf Alquran. Saat ini negara-negara kebangsaan yang memiliki LPMA yang sangat kredibel adalah al-Azhar Mesir, Saudi Arabia, Syria, Iran, Pakistan, Indonesia dan yang lain.

Di antara negara yang paling serius "ngopeni" LPMA itu adalah Kerajaan Saudi Arabia yang sejak 1984 H/1405 H mendirikan percetakan Alquran terbesar di dunia di Madinah  dengan mesin cetak tercanggih buatan Jerman. Percetakan ini diberi nama  مجمع الملك فهد لطباعة المصحف الشريف (Lembaga Percetakan Alquran Raja Fahd). Produk mushafnya diberi nama : مصحف المدينة النبوية (Mushaf Kota Nabi). Saya katakan KSA dibawah raja Fahd bin Abdul Aziz serius ngopeni LPMA, karena lembaga ini didukung dana yang sangat besar dengan kekuatan 1700 pekerja muslim profesional dan 300 ulama sekaligus penghafal Alquran. Tugas masing-masing alim  penghafal Alquran itu membaca-korektif setiap produk percetakan  di atas. Jadi setiap mushaf yang tercetak tidak diedarkan sebelum dibaca oleh seorang hafiz Alquran. Setelah dibaca, maka di akhir mushaf disetempel basah tanda مراقبة dan nomor. Jadi setiap mushaf dari sekitar 2 juta mushaf yang dibagikan secara gratis kepada jamaah haji dan semua mushaf yang tersebar di toko-toko buku dan yang dipajang di rak-rak Masjidilharam dan Masjid Nabawi  sudah dibaca minimal oleh seorang hafiz Alquran. Pola dan semangat kerja seperti ini -setahu saya, tidak terjadi di LPMA di berbagai negara.

Pendirian Percetakan Alquran di atas diikuti kebijakan; 1. Di KSA hanya Lembaga Percetakan Alquran Raja Fahd yang boleh menerbitkan Alquran. 2. Mushaf di Masjidil dan di Masjid Nabawi hanya mushaf terbitan Madinah.ini. Mushaf wakaf jamaah haji dan umrah ke dua masjid suci ini terbitan non Madinah disortir tiap hari untuk dibagikan pada jamaah haji yang membutuhkan di berbagai negara. 3. Seluruh imam masjid di KSA harus hafiz Alquran yang mushaf Madinah wajib menjadi rujukan. 4. Seluruh mushaf dari berbagai negara dan terjemahan dengan bahasa nasional masing-masingnegara  yang ingin diterbitkan ulang  di Madinah harus mengikuti kaidah Mushaf Madinah dengan terjemahan yang sesuai dengan pemahaman ulama wahabi-salafi. 5. Syarat untuk menjadi imam di Masjidilharam dan Masjid Nabawi, disamping hafal Alquran dengan merujuk pada Mushaf Madinah, mereka wajib memiliki ijazah formal kualifikasi S3 prodi Alquran atau studi Islam, dan kebijakan-kebijakan lain untuk memperkokoh posisi Mushaf Madinah di dunia Islam. 6. Semua buku dan kitab yang beredar di KSA harus sejalan dengan ideologi wahabi-salafi sekaligus akan "memidanakan" para pengeritiknya.

Dengan kebijakan dan cara kerja seperti di atas, kiranya sulit bagi kaum Muslim di berbagai negara untuk mengimbangi penyebaran ideologi wahabi-salafi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Mari kita beradu gagasan, mau tenggelam dalam ideologi wahabi-salafi yang juga sebagai Ahlus Sunnah Waljamaah yang paling otentik atau kita melawan  dengan mengimbangi penyebarannya dengan pemahaman Islam Nusantara yang kita dengungkan, dengan sarana dan cara apa ? Bagaimana teknis sosialisasi inofatifnya di era digital ini ? Semoga bermanfaat. Wallahu a'lam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terjemah Kitab Alala dalam Bahasa Jawa dan Indonesia

Shalawat Badawiyah Kubro (An-Nurooniyah) dan Fadhilahnya

Karomah Habib Abdullah bin Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Malang