Mengenal Sekte Pancela Habaib dan Dzuriyat Nabi


Sekte Wahabi adalah sekte pencela habaib. Mereka sangat anti terhadap habaib dan menganggap habaib atau keturunan nabi sudah tidak ada dan dipastikan telah terputus silsilahnya. Tidak heran jika berbagai upaya dusta dari Wahabi menyudutkan habaib dan dzuriyat.

Dalam pandangan Aswaja-Sunni, posisi habaib sangat dimuliakan. Memuliakan habaib sebagai bentuk penghormatan kepada kanjeng Nabi Muhammad saw. Aswaja-Sunni memuliakan habaib dengan proporsional yakni dengan tidak mengurangi penilaian dari segi akhlaknya.

Hal inilah yang membedakan antara Aswaja-Sunni dan Wahabi. Jika Aswaja-Sunni memuliakan habaib dalam kapasitasnya sebagai dzuriyat nabi, ketakwaan dan keluhuran akhlaknya sedangkan Wahabi sedikitpun tidak punya penghormatan kepada habaib bahkan sangat anti terhadap habaib. Prinsip Aswaja-Sunni, memuliakan manusia biasa adalah kewajiban terlebih kepada dzuriyat Nabi. Kepada siapapun tidak diperkenankan menebarkan kebencian terlebih kepada nasab atau keturunan Rasulullah.

Kebencian Wahabi terhadap Habaib bisa dilihat dari sikapnya yang kerap menuduh habaib beserta tokoh-tokoh Aswaja-Sunni sebagai ahli bid'ah, penyembah kubur, pengikut sesat tasawuf dan tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar lainnya. Mereka kerap menyimpangkan ucapan habaib dan tokoh Aswaja-Sunni dengan penuh fitnah.

Karena kebencian yang mengakar kepada habaib, Wahabi sangat benci kepada keturunan sayyidina Hasan dan Husein. Siapapun yang mencintai dan memuliakan sayyidina Ali, Hasan dan Husein akan dicap sebagai Syiah. Tidak heran jika banyak kalangan Aswaja-Sunni yang dituduh sebagai Syiah oleh generasi anti habaib ini hanya karena mencintai dzuriyat Nabi.

Munculnya NU di Nusantara salah satu diantaranya membentengi masyarakat muslim Nusantara dari akidah batil pembenci habaib. Karena kebencian Wahabi terhadap habaib, sehingga mereka populer disebut sebagai sekte Nawashib atau Nashibi yakni sekte pembenci dan pencela dzuriyat Nabi.

Warga Aswaja-Sunni semacam NU tidak dapat melupakan peranan habaib dan dzuriyat Nabi dalam proses Islamisasi di Nusantara. Oleh karenanya, kehadiran habaib dapat dijadikan sebagai referensi memperkuat keislaman dan penguatan paham Aswaja. Jikapun ada habaib yang sedikit berbeda dengan karakter akhlak Aswaja-Sunni maka pengikut Aswaja-Sunni tidak akan mencelanya kecuali dengan memberikan nasehat-nasehat yang baik.

Peranan habaib sejak awal periode Islamisasi Nusantara hingga kini tak dapat diabaikan. Mereka memiliki berbagai macam fam atau marga membentuk sebuah komunitas. Mereka menyuarakan Islam dengan semangat perdamaian dan kelemahlembutan dalam berbagai media dakwah atau mejelis ilmu.

Karakter Aswaja-Sunni adalah mengambil segala sesuatu yang baik. Demikian pula terhadap habaib, jika mengandung kebaikan dan manfaat dari ucapan dan perbuatannya maka wajib untuk dicontoh dan sebaliknya jika ada hal yang dirasa kurang baik dari seorang habaib maka cukup diabaikan.

Habaib tentunya manusia yang tak luput dari kesalahan sebagaimana manusia lainnya yang bukan habaib. Adalah kewajaran jika setiap habaib ada kekurangan dan kelebihan masing-masing. Jangan pernah mencela dan menghinanya agar kita sebagai kaum Aswaja-Sunni tidak mewarisi dari karakter Wahabi yang sangat hobi mencela dzuriyat Nabi.










Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terjemah Kitab Alala dalam Bahasa Jawa dan Indonesia

Shalawat Badawiyah Kubro (An-Nurooniyah) dan Fadhilahnya

Karomah Habib Abdullah bin Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Malang