Kemuliaan Keluarga Sayyidina 'Ali bin Abi Thalib
‘Ali bin Abi Thalib adalah orang yang pertama masuk Islam dari kalangan anak-anak. , beliau mewakafkan diri untuk Islam sejak kecil hingga ajal menjemput. Beliau merupakan salah satu sahabat yang dijamin surga oleh Rasulullah Saw.
Kehidupan ‘Ali bin Abi Thalib adalah keberkahan. Dibina langsung oleh Rasulullah Saw, menjadi sepupu beliau, salah satu menantu terbaik Nabi dan juga sosok yang menggantikan Nabi di tempat tidur dalam peristiwa hijrah yang bermakna siap mati untuk agama Islam. Karenanya pula, banyak teladan yang berasal dari beliau dalam berbagai episode kehidupan.
Baik sebagai seorang hamba dalam ibadah, keberanian seorang prajurit di medan jihad, teladan persahabatan dan kehidupan sosial, hingga contoh yang senantiasa beliau hadirkan ketika menjadi Amirul Mukminin, Khalifah keempat kaum muslimin.
Kedermawanan adalah satu sifat beliau yang amat mulia. Dalam tahap terbaik, beliau rela memberikan jatah makanan berbuka puasa kepada mereka yang lebih membutuhkan selama tiga hari berturut-turut.
Hari itu, Sayyidina ‘Ali dan istrinya berpuasa. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau bernazar puasa selama tiga hari. Pada hari pertama, beberapa jam sebelum Maghrib, sudah ada dua potong roti untuk berbuka puasa. Dua potong roti itulah yang menjadi rezeki mereka sore itu.
Namun, beberapa saat sebelum waktu berbuka puasa menyapa, diketuklah pintu rumah kedua pasangan Rabbani ini. Rupanya, ada seorang pengemis yang meminta sedekah. Lantas, dengan ikhlas, ‘Ali memerintahkan istrinya untuk memberikan dua potong roti itu kepada pengemis. Alhasil, mereka berdua hanya berbuka puasa dengan meminum air putih.
Di hari kedua berpuasa, kejadian pada hari pertama terulang. Kali ini yang mengetuk pintunya adalah sesosok anak yatim. Kasihan. Ibalah hati ‘Ali. Maka, roti yang sudah siap disantap saat waktu berbuka tiba, langsung diberikan kepada anak yatim. Malam itu, keluarga ‘Ali kembali menikmati air putih sebagai menu berbuka puasa.
Kemudian pada hari ketiga, datanglah seorang tawanan perang tepat beberapa saat sebelum Maghrib berkumandang. Maka, kembali diberikanlah jatah berbuka sepasang suami istri itu kepada tawanan perang yang lebih membutuhkan makanan. Lagi-lagi mereka berbuka puasa dengan air putih.
Subhanallahi wal hamdulillahi wa laa ilaha illallahu wallahu akbar.
Sungguh, tidak akan mungkin melakukan hal mulia tersebut kecuali orang yang kuat imannya kepada Allah Ta’ala. Mustahil berlaku demikian, padahal dirinya juga membutuhkan, kecuali karena pelakunya adalah sosok shaleh yang menjadikan dunia sebagai terminal pemberhentian semata dan akhirat sebagai satu-satunya tujuan.
Komentar
Posting Komentar