Hukum Isbal menurut Empat Madzhab


MENANGGAPI FANPAGE WAHABISME ANTI-ULAMA yang mengartikan Hadist dengan pemikirannya sendiri pula textual.

“Hendaklah ditarik yang Muthlaq kepada yang Muqoyyad apabila keduanya sama sebab dan hukumnya” ([Lihat Ushul Fiqh Islamiy, Dr. Wahbah Zuhaili

(1/217), dan Al-Bayan, Abdul Hamid Hakim (3/75)].)

اَنَّ الْاَحَادِيْثَ الْمُطْلَقَةَ فِى الزَّجْرِ عَنِ الْاِسْبَالِ مُقَيَّدَةٌ بِالْاَحَادِيْثِ الْاُخْرَى الْمُصَرَّحَةِ بِمَنْ فَعَلَهُ خُيَلَاءَ

“Sesungguhnya hadits-hadits yang muthlaq yang melarang isbal hendaklah ditaqyidkan (terikat) dengan hadits-hadits yang lain yang menegaskan (sanksi itu) bagi orang yang melakukannya karena sombong” (Fathul bari : 10:365)

Ulama’ Madzhab mengambil usul fiqh tersebut yang mengatakan bahwa dalil-dalil larangan isbal adalah global (muthlaq)

, sedangkan dalil global harus dibatasi oleh dalil yang spesifik (muqayyad). Jadi, secara global isbal memang dilarang yaitu haram,

tetapi ada sebab (‘illat) yang men-taqyid­-nya yaitu karena sombong (khuyala’). Kita lihat pendapat ulama’-ulama’ madzhab sebagai berikut:

#MADZAB_HANAFI
-------------------
Pertama, Imam Abu Hanifah Radhiallahu ‘Anhu

Sebagaimana dalam Al Adab Asy Syar’iyyah, Ibnu Muflih berkata:

قَالَ صَاحِبُ الْمُحِيطِ مِنْ الْحَنَفِيَّةِ وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ ارْتَدَى بِرِدَاءٍ ثَمِينٍ قِيمَتُهُ أَرْبَعُمِائَةِ دِينَارٍ وَكَانَ يَجُرُّهُ عَلَى الْأَرْضِ فَقِيلَ لَهُ أَوَلَسْنَا نُهِينَا عَنْ هَذَا ؟ فَقَالَ إنَّمَا ذَلِكَ لِذَوِي الْخُيَلَاءِ وَلَسْنَا مِنْهُم

ْ “Berkata pengarang Al Muhith dari kalangan Hanafiyah, dan diriwayatkan bahwa Abu Hanifah Rahimahullah memakai mantel mahal seharga empat ratus dinar, yang menjulur hingga sampai tanah. Maka ada yang berkata kepadanya: “Bukankah kita dilarang melakukan itu?” Abu Hanifah menjawab: “Sesungguhnya larangan itu hanyalah untuk yang berlaku sombong, sedangkan kita bukan golongan mereka.” (Imam Ibnu Muflih, Al Adab Asy Syar’iyyah, Juz. 4, Hal. 226. Mauqi’ Al Islam)

#MADZAB_HAMBALI
---------------------
Kedua, Imam Ahmad bin Hambal RA

Masih dalam Al Adab Asy Syar’iyyah:

وَقَالَ فِي رِوَايَةِ حَنْبَلٍ : جَرُّ الْإِزَارِ إذَا لَمْ يُرِدْ الْخُيَلَاءَ فَلَا بَأْسَ بِهِ وَهَذَا ظَاهِرُ كَلَامِ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْ الْأَصْحَابِ رَحِمَهُمُ اللَّهُ

Dalam satu riwayat Hambal berkata: “Menjulurnya kain sarung, jika tidak dimaksudkan untuk sombong, maka tidak mengapa. Demikian ini merupakan zhahir perkataan lebih dari satu sahabat-sahabatnya” Disebutkan dalam riwayat lain bahwa Imam Ahmad juga mengharamkan. (Ibid)

Sementara dalam Kasyaf Al Qina’ disebutkan:

قَالَ أَحْمَدُ فِي رِوَايَةِ حَنْبَلٍ : جَرُّ الْإِزَارِ ، وَإِسْبَالُ الرِّدَاءِ فِي الصَّلَاةِ ، إذَا لَمْ يُرِدْ الْخُيَلَاءَ فَلَا بَأْسَ ( مَا لَمْ يُرِدْ التَّدْلِيسَ عَلَى النِّسَاءِ ) فَإِنَّهُ مِنْ الْفُحْشِ

“Berkata Imam Ahmad dalam riwayat Hambal: Menjulurkan kain sarung, memanjangkan selendang (sorban) di dalam shalat, jika tidak ada maksud sombong, maka tidak mengapa (selama tidak menyerupai wanita), jika demikian maka itu berbuatan keji.” (Imam Al Bahuti, Kasysyaf Al Qina’, 2/ 304. Mawqi’ Al Islam. Juga Imam Ar Rahibani, Mathalib Ulin Nuha, 2/363. Mawqi’ Al Islam Lihat juga Imam Ibnu Taimiyah, Syarhul ‘Umdah, Hal. 361. Cet. 1, 1998M-1428H. Darul ‘Ashimah, Riyadh. KSA.)

@ Ketiga, Imam Ibnu Taimiyah

وَاخْتَارَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ رَحِمَهُ اللَّهُ عَدَمَ تَحْرِيمِهِ وَلَمْ يَتَعَرَّضْ لِكَرَاهَةٍ وَلَا عَدَمِهَا

“Syaikh Taqiyyuddin Rahimahullah (maksudnya Ibnu Taimiyah) memilih untuk tidak mengharamkannya, dan tidak melihatnya sebagai perbuatan makruh, dan tidak pula mengingkarinya.”

Beliau berkata dalam kitab Syarhul ‘Umdah:

فأما أن كان على غير وجه الخيلاء بل كان على علة أو حاجة أو لم يقصد الخيلاء والتزين بطول الثوب ولا غير ذلك فعنه أنه لا بأس به وهو اختيار القاضي وغيره

“Ada pun jika memakainya tidak dengan cara sombong, tetapi karena ada sebab atau hajat (kebutuhan), atau tidak bermaksud sombong dan menghias dengan cara memanjangkan pakaian, dan tidak pula selain itu, maka itu tidak apa-apa. Ini juga pendapat yang dipilih oleh Al Qadhi dan selainnya. (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syarhul ‘Umdah, Hal. 361)

قال شيخ الإسلام في شرح العمدة (ص 366) : ولأن الأحاديث أكثرها مقيدة بالخيلاء فيحمل المطلق عليه وما سوى ذلك فهو باق على الإباحة وأحاديث النهي مبنية على الغالب والمظنة ”

Didalam syarah beliau untuk kitab Umdah al Fiqh hal 366 mengatakan, “Mengingat bahwa mayoritas dalil itu melarang isbal jika dengan kesombongan maka dalil yang melarang isbal secara mutlak itu kita maknai dengan isbal karena kesombongan. Sehingga isbal yang tanpa dorongan kesombongan itu tetap bertahan pada hukum asal berpakaian yaitu mubah. Jadi hadits-hadits yang melarang isbal itu didasari pertimbangan bahwa mayoritas lelaki yang isbal itu dikarenakan dorongan kesombongan”.

#MADZAB_MALIKI
-------------------
Keempat, Imam Abul Hasan Al Maliki Rahimahullah

Berkata Imam Ali bin Ahmad Ash Sha’idi Al ‘Adawi Rahimahullah

ثُمَّ أَقُولُ : وَعِبَارَةُ الْمُصَنِّفِ تَقْتَضِي أَنَّهُ يَجُوزُ لِلرَّجُلِ أَنْ يَجُرَّ ثَوْبَهُ أَوْ إزَارَهُ إذَا لَمْ يَقْصِدْ بِذَلِكَ كِبْرًا أَوْ عُجْبًا

Perkataan Al Mushannif (penyusun

kitab Kifayatut Thalib, pen) menunjukkan kebolehan bagi laki-laki menjulurkan pakaiannya atau kain sarungnya jika dia tidak bermaksud sombong atau ‘ujub. (Hasyiyah Al ‘Adawi, 8/111. Mawqi’ Al Islam)

Disebutkan dalam Al Mausu’ah:

وَاخْتَلَفُوا فِي إِطَالَتِهَا إِلَى أَسْفَل مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنْ غَيْرِ كِبْرٍ وَلاَ اخْتِيَالٍ وَلاَ حَاجَةٍ : فَذَهَبَ الْجُمْهُورُ إِلَى الْكَرَاهَةِ التَّنْزِيهِيَّةِ

Mereka berbeda pendapat dalam hal memanjangkannya sampai melewati dua mata kaki dengan tanpa sombong dan tanpa kebutuhan: madzhab jumhur (mayoritas) adalah menyatakan sebagai makruh tanzih. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 34/170)

#MADZAB_SYAFI'I
-------------------
Kelima, Imam Asy Syafi’i dan Imam An Nawawi Rahimahumallah

Dalam Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Imam An Nawawi berkata:

وَأَنَّهُ لَا يَجُوز إِسْبَاله تَحْت الْكَعْبَيْنِ إِنْ كَانَ لِلْخُيَلَاءِ ، فَإِنْ كَانَ لِغَيْرِهَا فَهُوَ مَكْرُوه ، وَظَوَاهِر الْأَحَادِيث فِي تَقْيِيدهَا بِالْجَرِّ خُيَلَاء تَدُلّ عَلَى أَنَّ التَّحْرِيم مَخْصُوص بِالْخُيَلَاءِ

“Tidak boleh isbal di bawah mata kaki jika sombong, jika tidak sombong maka makruh(dibenci). Secara zhahir hadits-hadits yang ada memiliki pembatasan (taqyid) jika menjulurkan dengan sombong, itu menunjukkan bahwa pengharaman hanya khusus bagi yang sombong.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Kitab Al Libas Waz Zinah Bab Tahrim Jarr ats Tsaub wa Bayan Haddi maa Yajuz …, Juz. 7, Hal. 168, No hadits. 3887. Mawqi’ Ruh Al Islam)

وَقَالَ النَّوَوِيّ : الْإِسْبَال تَحْت الْكَعْبَيْنِ لِلْخُيَلَاءِ ، فَإِنْ كَانَ لِغَيْرِهَا فَهُوَ مَكْرُوه ، وَهَكَذَا نَصَّ الشَّافِعِيّ عَلَى الْفَرْق بَيْن الْجَرّ لِلْخُيَلَاءِ وَلِغَيْرِ الْخُيَلَاء ، قَالَ : وَالْمُسْتَحَبّ أَنْ يَكُون الْإِزَار إِلَى نِصْف السَّاق وَالْجَائِز بِلَا كَرَاهَة مَا تَحْته إِلَى الْكَعْبَيْنِ ، وَمَا نَزَلَ عَنْ الْكَعْبَيْنِ مَمْنُوع مَنْع تَحْرِيم إِنْ كَانَ لِلْخُيَلَاءِ وَإِلَّا فَمَنْع تَنْزِيه ، لِأَنَّ الْأَحَادِيث الْوَارِدَة فِي الزَّجْر عَنْ الْإِسْبَال مُطْلَقَة فَيَجِب تَقْيِيدهَا بِالْإِسْبَالِ لِلْخُيَلَاءِ اِنْتَهَى

Berkata An Nawawi: “Isbal dibawah mata kaki dengan sombong (haram hukumnya, pen), jika tidak sombong maka makruh. Demikian itu merupakan pendapat Asy Syafi’i tentang perbedaan antara menjulurkan pakaian dengan sombong dan tidak dengan sombong. Dia berkata: Disukai memakai kain sarung sampai setengah betis, dan boleh saja tanpa dimakruhkan jika dibawah betis sampai mata kaki, sedangkan di bawah mata kaki adalah dilarang dengan pelarangan haram jika karena sombong, jika tidak sombong maka itu tanzih. Karena hadits-hadits yang ada yang menyebutkan dosa besar bagi pelaku isbal adalah hadits mutlak (umum), maka wajib mentaqyidkan (mengkhususkan/membatasinya) hadits itu adalah karena isbal yang dimaksud jika disertai khuyala (sombong). (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Kitab Al Libas Bab Man Jarra Tsaubahu min Al Khuyala, Juz. 10, Hal. 263. Darul Fikri. Lihat juga Imam Ash Shan’ani, Subulus Salam, Kitab Al Jami’ Bab Laa Yanzhurullah ila man Jarra Tsaubahu Khuyala’, Juz. 4, Hal. 158. Cet. 4, 1960M-1379H. Maktabah Mushtafa Al Baabi Al Halabi. Lihat juga Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, Kitab Al Libas Bab Ar Rukhshah fi Al Libas Al Hamil …, Juz. 2, Hal. 114. Maktabah Ad Da’wah )

@ Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah

وَيُكْرَهُ إسْبَالُ الْقَمِيصِ وَالْإِزَارِ وَالسَّرَاوِيلِ ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِرَفْعِ الْإِزَارِ . فَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ عَلَى وَجْهِ الْخُيَلَاءِ حَرُمَ

“Dimakruhkan isbal (memanjangkan) gamis (baju kurung), kain sarung, dan celana panjang, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan menaikannya. Tetapi jika isbal dengan sombong maka haram.” (Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, Al Fashlu Ats Tsalits Maa Yakrahu fi Ash Shalah, Juz. 3, Hal. 21)

‘ulama’ terdahulu sangat bijak dalam menghadapi berbedaan tentang masalah isbal, maka dengan munculnya ulama’ yang mengharamkan seperti Al Bani, bin Bas dan lainnya, maka diharapkan tetap menciptakan sikap yang arif dan bijak. Bagi yang mengharamkan isbal maka tidak usah mencibir yang berbendapat isbal boleh atau makhruh, dan begitu juga sebaliknya.

Wallohu ‘alam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terjemah Kitab Alala dalam Bahasa Jawa dan Indonesia

Shalawat Badawiyah Kubro (An-Nurooniyah) dan Fadhilahnya

Karomah Habib Abdullah bin Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Malang